Banjarmasin – Perjanjian 2010 antara PT Antang Gunung Meratus (AGM) dan PT Anugerah Tapin Persada (ATP) yang diteken pada 11 Maret 2010 silam, menjadi dasar penggunaan lahan di jalan hauling di KM 101 Kabupaten Tapin antara kedua perusahaan.
Hal tersebut juga menjadi dasar bagi PT AGM dan PT Tapin Coal Terminal (TCT), sebagai pemilik baru dari ATP, dalam menggunakan jalan hauling secara bersama sejak sekitar tahun 2011.
Sementara itu, Harry Ponto, kuasa hukum PT AGM dari Kantor Hukum Kailimang & Ponto menegaskan, sejak perjanjian 2010 disepakati dan ditandatangani para pihak, bisnis pengiriman batubara melalui jalan hauling di Kabupaten Tapin berjalan lancar. Baik PT AGM maupun PT TCT bisa menjalankan bisnisnya masing-masing.
“Sangat aneh dan mengagetkan jika kemudian PT TCT mengingkari adanya perjanjian 2010. Ada apa kok tiba-tiba mereka menolak perjanjian yang sudah mereka jalankan secara bersama-sama dengan PT AGM sejak 2010 hingga saat ini?” ungkap Harry Ponto melalui keterangan resmi, Senin (20/12/2021) kemarin.
Lebih jauh Harry menjelaskan, inti dari perjanjian 2010 itu adalah tukar pakai tanah antara PT AGM dan PT Anugerah Tapin Persada (ATP), dimana PT ATP berhak untuk menggunakan tanah PT AGM seluas 1.824 m2 di sebelah timur underpass KM 101 untuk jalan hauling ATP.
Kemudian, PT AGM berhak memakai tanah PT ATP di sebelah barat underpass KM 101 untuk jalan hauling PT AGM.
Sebagai bagian dari kesepakatan perjanjian 2010 tersebut, terdapat tiga poin yang mengikat kedua perusahaan.
Pertama, perjanjian berlaku sepanjang tanah tukar pakai masih digunakan untuk jalan hauling. Kedua, perjanjian tidak berakhir dengan berpindahnya kepemilikan tanah. Ketiga, perjanjian berlaku mengikat kepada para pihak penerus atau pengganti dari pihak yang membuat perjanjian.
“Sebagai perusahaan yang selalu patuh terhadap hukum, PT AGM tidak mungkin berani menggunakan lahan yang bukan milik jika tidak ada dasar hukumnya. Apalagi perjanjian ini sudah berjalan dan ditaati selama satu dekade ini,” jelas Harry.
Harry Ponto justru mempertanyakan motif PT TCT mengingkari perjanjian 2010 yang sudah mereka akui dan jalankan sejak 2011.
Logikanya, jika perjanjian itu merugikan mereka, sejak menjadi pemilik baru menggantikan PT ATP di tahun 2011, PT TCT mestinya sudah melakukan pembatalan perjanjian 2010. Tapi faktanya itu tidak pernah dilakukan.
“Artinya mereka juga mendapatkan keuntungan dengan perjanjian 2010. Karena itu untuk kepastian hukum atas masalah ini PT AGM menggugat PT TCT terkait perjanjian 2010 itu di Pengadilan Negeri Tapin. Saat ini proses persidangan telah berjalan,” jelasnya.
Harry juga menyayangkan langkah-langkah PT TCT yang mempidanakan pegawai PT AGM ke Polda Kalsel. Padahal tanah di jalan hauling KM 101 Tapin yang menjadi dasar laporan itu sudah terikat dalam perjanjian 2010.
Akibat laporan PT TCT itu Polda Kalsel menerbitkan police line di lokasi tanah dalam perjanjian 2010. Hal itu kemudian diikuti pemasangan portal dan kendaraan milik PT TCT di lokasi yang sama.
Menurut Harry, police line dan blokade oleh PT TCT di Km 101 itu justru menjadi kerugian besar bagi ekonomi Indonesia.
Di tengah upaya Presiden Jokowi untuk memulihkan ekonomi akibat Covid-19, pemasangan police line justru berpotensi mematikan ekonomi masyarakat setempat yang menggantungkan hidup mereka dari PT AGM.
“Ada ribuan pekerja dan ribuan keluarga yang kini tanpa penghasilan akibat jalan hauling tidak bisa dilewati. Karena PT TCT mempermasalahkan keberlakuan perjanjian 2010,” demikian Harry Ponto.