Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengeluarkan catatan tahunan tentang tingginya ancaman terhadap profesi jurnalis. Selain peraturan perundangan yang membahayakan keselamatan, praktik kekerasan yang dialami jurnalis masih banyak dilaporkan, baik secara langsung maupun secara daring.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis masih menunjukkan angka yang tinggi dan terus meningkat setiap tahunnya. Selama tahun 2022, AJI mencatat telah terjadi 61 kasus penyerangan yang dialami 97 orang jurnalis dan pekerja media, serta organisasi media. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 43 kasus. Jenis serangan yang dialami jurnalis diantaranya kekerasan digital, kekerasan fisik dan perusakan alat kerja, kekerasan verbal, kekerasan berbasis gender, penangkapan dan pelaporan pidana, serta penyensoran.
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung, mengatakan pelaku kekerasan sebagian besar melibatkan aparatur negara, mulai dari Polri, TNI, aparatur sipil negara.Keamanan jurnalis, kata Erick, terancam berbagai pasal bermasalah di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta aturan turunannya.
“Kita melihat di Undang-Undang nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, ini masih menjadi ancaman serius. Pasal-pasal karet yang seringkali menjerat jurnalis di dalam kerja-kerja liputannya,” jelas Erick Tanjung.
Kebebasan pers juga semakin terancam dengan disahkannya Undang-Undang KUHP, yang dapat mempidanakan jurnalis dengan mudah.
“Masih ada 17 pasal yang dapat mempidanakan jurnalis, dari sebelumnya ada 19 pasal yang menjadi masalah. Dari sejumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis, menunjukkan bahwa Undang-Undang Pers belum diimplementasikan termasuk oleh institusi Polri dan Pengadilan,” jelasnya.
Serangan terhadap jurnalis tidak hanya dilakukan secara fisik, namun juga secara digital. Adib Muttaqin Asfar dari Bidang Internet AJI Indonesia menyebutkan, ada 15 kasus serangan secara digital terhadap 43 awak redaksi dan sembilan media selama 2022. Tahun 2020 dan 2021, AJI hanya mencatat ada tujuh dan lima kasus serangan seperti itu. Adib mendesak perusahaan media mewaspadai dan meningkatkan kapasitas keamanan digital pada awaknya.
“Salah satu hal yang perlu dilakukan oleh perusahaan media adalah, peningkatan kapasitas dan kesadaran para jurnalis, serta pengelola media untuk melakukan pelatihan terkait keamanan secara holistik,” kata Adib Muttaqin Asfar.
Kekerasan seksual juga menjadi ancaman serius bagi pekerja media, terutama jurnalis perempuan. Bentuk kekerasan seksual yang banyak dialami jurnalis mulai kekerasan seksual secara verbal, hingga kekerasan seksual secara fisik, baik langsung maupun daring. Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Nani Afrida, mendorong pemerintah segera menerbitkan dan melaksanakan aturan yang memastikan kekerasan seksual tidak terjadi lagi dan ditindak sesuai hukum.
“Pemerintah agar segera menerbitkan tiga peraturan pemerintah, dan empat peraturan presiden, sebagai aturan turunan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ini rekomendasi yang dibuat oleh Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal,” jelasnya.
Direktur Surat Kabar Jatim Pos, Syaiful Anam, menyebut praktik kekerasan masih sering dialami wartawan di daerah, baik secara fisik maupun digital. Masyarakat maupun aparat perlu memahami tugas dan kerja wartawan yang dilindungi oleh Undang-Undang. Saiful Anam yang juga pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, menyebut perusahaan media wajib memberikan bekal serta pemahaman terhadap awak medianya, terkait keselamatan dan keamanan selama menjalankan tugas jurnalistiknya.
“Kewajiban itu mestinya, kewajiban dari media, jadi harus ada, kalau ditempat saya ada. Dan memang kewajiban. Jadi media-media profesional harus menjalankan itu, harus ada pelatihan, harus ada diklat, pendidikan untuk wartawannya, kalau tidak ya bagaimana?,” jelas Saiful Anam. [VOAIndonesia]