Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Selatan (Kalsel) I, Muhammad Rofiqi suarakan terkait polemik Perusahaan Daerah (Perusda) PT. Baramarta milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjar saat Rapat Komisi III DPR RI dengan Kejaksaan Agung (Kejagung), Rabu (13/11/2024).
Dimana, dalam rapat tersebut Komisi III DPR RI dan Kejaksaan Agung membahas beberapa poin diantaranya,
1. GRAND STRATEGY ATAU GARIS BESAR DARI RENCANA STRATEGIS JAKSA AGUNG PADA PERIODE 2024-2029;
2. PENANGANAN KASUS AKTUAL YANG MENARIK PERHATIAN PUBLIK;
3. MEKANISME EVALUASI DAN RENCANA KERJA TERKAIT TATA KELOLA PEMBINAAN KARIR, DAN
4. PENGAWASAN INTERNAL TERHADAP PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI KEJAKSAAN
Dalam penyampaiannya, Anggota Komisi III DPR RI yang juga Politisi Partai Gerindra, Muhammad Rofiqi mempertanyakan terkait tanggung jawab utang pajak PT. Baramarta yang mencapai ratusan Miliar rupiah.
“Akhir-akhir kasus perusahaan daerah yang dimiliki Pemkab Banjar, sedang menjadi perhatian publik, bagaimana tidak biasanya kasus-kasus seperti ini bombastis di awal namun melempem (melunak-red) ujung-ujungnya,” ungkapnya.
Kendati demikian, lanjut Rofiqi sapaan akrabnya, Perusahaan Daerah PT. Baramarta yang telah berdiri sejak tahun 1998, namun sejak saat itu hingga sekarang hanya menyetorkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang terbilang kecil.
“Ada dua Perusahaan daerah di Kabupaten Banjar, PT Banjar Intan Mandiri (BIM) yang sudah Pailit, dan PT. Baramarta. Nah PT. Baramarta ini yang paling parah, karena sejak berdiri hingga sekarang hanya menyetorkan PAD kurang lebih Rp. 125 Miliar, tetapi hutang pajaknya malah Rp. 470 Miliar, jadi selama puluhan tahun perusahaan daerah itu berdiri tidak untung malah buntung, dan hebatnya lagi perusahaan daerah ini (PT. Baramarta—Red) berdiri hingga sekarang,” paparnya menegaskan.
Masih kata Rofiqi, dirinya pun sempat heran dengan siapa yang harus bertanggung jawab atas hutang pajak tersebut.
“Sedangkan direkturnya telah divonis hukuman 6 tahun penjara pada masa itu, lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas hutang pajak yang ratusan miliar rupiah ini?,” sampainya.
“Terlebih belum hal seperti kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang turut terjadi, ini yang kiranya harus menjadi perhatian, jangan kasus-kasus seperti ini yang bombastis di awal dan melempem di akhir,” tutupnya menambahkan.