Bertempat di Ruang sidang Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Rabu (30/7/2023) siang, Jaksa Penuntut Umum (PU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Banjarbaru, tanggapi nota keberatan dari penasihat hukum terdakwa kasus Pidana Korupsi Penyaluran Kredit Kupedes.
Sebelumnya, Rabu (23/7/2023) penasihat hukum terdakwa EA menyampaikan nota keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan Penuntut Umum.
Isi nota keberatan itu antara lain berbunyi, pengadilan tidak berwenang mengadili secara absolut, yakni Majelis Hakim wajib mempertimbangkan kondisi subjektif dan objektif dari perbuatan terdakwa (kesalahan dan pertanggungjawaban) sebagaimana yang disampaikan dalam dakwaan JPU.
Mengingat dakwaan yang disampaikan oleh JPU adalah tindak pidana korupsi, tapi menurut penasehat hukum terdakwa, perbuatan tersebut bukanlah merupakan perbuatan yang memenuhi kualifikasi tindak pidana korupsi.
Pendapat tersebut termaktub dalam halaman 3 pada nota keberatan penasihat hukum terdakwa.
Dakwaan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) yaitu jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun lebih kental dalam pertanggungjawaban secara keperdataan sehingga harus diselesaikan melalui sengketa keperdataan
isi nota keberatan penasihat hukum terdakwa pada halaman 19-33
Sehingga dakwaan tidak dapat diterima, Sebab, Exeptio In Persona atau orang yang diajukan sebagai terdakwa keliru.
Atas nota keberatan dari penasihat hukum, JPU terang Kasi Intelejen Kejari Banjarbaru Essadendra Aneksa memberikan tanggapan keberatan.
Ia menerangkan, pengadilan tindak pidana korupsi masih berwenang mengadili perkara secara absolut dengan memperhatikan kedudukan dari terdakwa yang masih masuk dalam subjek hukum yang dapat dipersangkakan menurut pasal 2 dan pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.
“Sepanjang perbuatannya masih memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang nantinya akan dibuktikan dalam proses peradilan ketika telah masuk pemeriksaan pokok perkara,” terangnya.
Lalu, terkait nota keberatan dakwaan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging), penuntut umum berpendapat keberatan penasehat hukum itu tidak tepat.
“Bukan merupakan obyek nota keberatan berdasarkan Pasal 156 Ayat (1) KUHAP sehingga perlu dikesampingkan oleh Majelis Hakim,” tuturnya.
Terkait nota keberatan Exeptio In Persona, penuntut umum menambahkan, pada saat awal sidang pertama perkara pada hari Rabu, (2/72023), majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara telah melakukan pengecekan terhadap data diri terdakwa berdasarkan identitas terdakwa dalam surat dakwaan penuntut umum.
Acuannya berdasarkan Pasal 155 Ayat (1) KUHAP yang mengatur, pada permulaan sidang, Ketua Majelis Hakim sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama Iengkap.
Setelah itu tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.
Akan tetapi, setelah majelis hakim membacakan dan mengkonfirmasi kepada terdakwa didepan persidangan, terdakwa tidak melakukan penolakan terhadap identitas tersebut dan membenarkan identitas tersebut.
Sehingga alasan Exeptio In Persona yang telah diajukan oleh penasehat hukum terdakwa dalam Nota Keberatannya tidak tepat dan perlu dikesampingkan oleh Majelis Hakim.
“Dalam hal tanggapan atas eksepsi penasihat hukum terdakwa tersebut, JPU mohon kepada majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini untuk menolak seluruh keberatan yang diajukan tim penasehat hukum terdakwa,” jelasnya.
Kemudian, menyatakan surat dakwaan telah sah dan memenuhi syarat formiil dan syarat materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan secara hukum surat dakwaan sah untuk dijadikan dasar pemeriksaan perkara ini.
Terakhir, menetapkan pemeriksaan perkara ini tetap dilanjutkan.(Adv)