Menjaga Sang Saka Merah Putih Dengan Nyawa
Sejak pengibaran pertamanya, tanggal 17 Agustus diperingati sebagai Hari Kemerdekaan RI.
Upacara Pengibaran dan Penurunan Bendera Merah Putih yang dipimpin oleh Presiden RI dilakukan di Istana Merdeka, Jakarta dengan menggunakan Bendera Pusaka.
Akan tetapi, karena kerapuhan bendera, sejak tahun 1969, bendera yang dinaikkan di Istana Merdeka merupakan duplikat/replika.
Ketika pada tahun pertama Revolusi Nasional Indonesia, Bendera Pusaka dikibarkan siang dan malam.
(Baca Juga : Jalan Berliku Proklamasi)
Ada kejadian yang begitu heroik, setelah Belanda menguasai Jakarta pada 1946, Bendera Pusaka dibawa ke Yogyakarta dalam koper Soekarno.
Ketika terjadi Operatie Kraai (Agresi Militer) Belanda, Bendera Pusaka dipotong dua lalu diberikan kepada Husein Mutahar untuk diamankan.
Soekarno saat itu menyatakan kepada kepada Husein Mutahar, seperti terkutip dari buku “Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat” karya Cindy Adams, untuk ‘menjaga bendera dengan nyawa’.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu,” ucap Soekarno kala itu.
Dikutip dari buku Berkibarlah Benderaku: Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka yang ditulis oleh Bondan Winarno, Mutahar langsung menjalankan perintah Bung Karno.
Ia langsung menerima perintah Presiden di masa genting itu. “Bendera ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh,” demikian kata Soekarno.
Mutahar lantas memikirkan cara membawa bendera pusaka tersebut. Selanjutnya, disebutkan bahwa Mutahar dibantu oleh seseorang bernama Pernadinata, untuk membuka jahitan bendera menjadi dua.
Husein Mutahar mengungsi dengan membawa bendera tersebut dan untuk alasan keamanan dari penyitaan Belanda itulah,ia melepaskan benang jahitan bendera sehingga bagian merah dan putihnya terpisah, kemudian membawanya dalam dua tas terpisah.
Dengan demikian, bendera Merah Putih terlihat sebagai dua kain berwarna merah dan putih.
Pria kelahiran 5 Agustus 1916 yang bernama lengkap Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar ini, walaupun kemudian sempat tertangkap, Husein Mutahar mampu melarikan diri dari tentara Belanda.
Pertengahan Juni 1949,ketika berada dalam pengasingan di Bangka, Presiden Soekarno meminta kembali bendera pusaka kepada Husein Mutahar.
Husein Mutahar kemudian menjahit dan menyatukan kembali bendera pusaka dengan mengikuti lubang jahitannnya satu persatu.
Bendera pusaka kemudian disamarkan dengan bungkusan kertas koran dan diserahkan kepada Soejono untuk dikembalikan kepada Presiden Soekarno di Bangka.
Pasca Agresi Militer II Belanda, 6 Juli 1949, Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Yogyakarta setelah diasingkan Belanda, Presiden Soekarno bersama bendera pusaka tiba dengan selamat di Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta.
Pada tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka kembali dikibarkan di halaman depan Gedung Agung.
Sebulan kemudian, 17 Agustus 1949, bendera pusaka dikibarkan kembali di Gedung Agung Yogyakarta untuk memperingati hari ulang tahun ke-4 RI.
Pada tanggal 28 Desember 1949, sehari setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda di Den Haag, bendera pusaka disimpandi dalam sebuah peti berukir dan diterbangkan dari Yogyakarta ke Jakarta dengan pesawat Garuda Indonesia Airways.
Atas jasanya menjaga bendera pusaka, Husein Mutahar yang juga diketahui menguasai paling tidak enam bahasa secara aktif itu, mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera pada 1961.
Menciptakan Hymne Syukur dan Hymne Pramuka, Mendirikan Paskibraka
(Selanjutnya)