SAMARINDA. Persoalan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang kini dianggap tak wajar dan terlalu mahal, memang menjadi kesengsaraan tersendiri bagi mahasiswa. Khususnya bagi mereka yang kurang mampu.
Bahkan ada kesan, bahwa untuk menjadi pintar, hanya diperbolehkan bagi mereka yang mampu secara finansial, tapi tidak bagi mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Hal inipun menjadi sorotan nasional hingga daerah, dimana sejumlah BEM bahkan individu mahasiswa melakukan sejumlah protes. Beberapa diantaranya juga sempat hendak dipolisikan oleh Rektor di Universitas yang bersangkutan.
Beberapa pekan lalu juga, ditengah ramainya persoalan kenaikan UKT, Kemendikbudristek yang diwakili oleh Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie menanggapi bahwa pendidikan tinggi bersifat tertiary education atau tersier.
Merespon hal ini, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian selaku Wakil menyayangkan pernyataan tersebut.
“Saya kira tidak semestinya pemerintah menyampaikan pernyataan seperti itu. Secara normatif memang wajib belajar hanya sampai tingkat sekolah menengah.Namun ini batas minimal pemenuhan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negara,” ucapnya kepada awak media.
Hetifah juga menjelaskan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar, dijelaskan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
Dirinya mengungkapkan apabila hasrat masyarakat untuk memajukan diri melalui pendidikan tinggi semakin meningkat, seharusnya pemerintah responsif untuk menyaranainya dengan kebijakan yang sesuai.
Apalagi hal ini didukung dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi Pasal 7 (1) yang menyebutkan bahwa menteri bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Saat ini anggaran negara terlalu terfokus pada sektor kesehatan, infrastruktur, penanggulangan stunting, serta pendidikan dasar dan menengah. Sementara biaya pendidikan tinggi (kuliah) cenderung terabaikan.
“Dalam kenyataannya anggaran pendidikan tinggi baru 1 persen dari total APBN (Perpres no.76 tahun 2023). Untuk itu, Komisi X DPR RI telah membentuk Panja Pembiayaan Pendidikan untuk membahas pokok permasalahan alokasi anggaran pendidikan, khususnya yang dialokasikan ke Kemendikbudristek karena saat ini belum dapat menjawab permasalahan pendidikan terutamanya mengenai ketersediaan, keterjangkauan, dan kepastian memperoleh layanan pendidikan, ” tegasnya.
Hetifah menegaskan bahwa Kemendikbudristek seharusnya menjadi kementerian terdepan untuk memastikan bahwa mandatory spending 20 persen dari APBN dan APBD itu bisa memenuhi tuntutan akan kebutuhan pendidikan yang bukan hanya standar minimal.
Apalagi tugas utama pemerintah adalah mencerdaskan bangsa. Perlu diketahui bahwa jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia baru sekitar 10 persen (Data BPS). “Ini masih sangat rendah apalagi jika dibandingkan dengan Jepang atau Korea Selatan yang lulusan perguruan tingginya lebih dari 50,” bebernya.
“Jika kita ingin menjadi negara maju kita harus terus menggenjot lulusan perguruan tinggi kita. Fakta di lapangan juga menunjukan bahwa lowongan lapangan pekerjaan di Indonesia rata-rata mengharuskan lulusan D3 ataupun S1, ini adalah tantangan pendidikan kita”, pungkasnya.