Di tengah laju percepatan pembangunan Kalimantan Timur sebagai calon ibu kota negara yang baru, terdapat dua persoalan strategis yang kembali mencuat dan menuntut perhatian serius: penerapan Upah Minimum Regional (UMR) dan pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di wilayah tersebut.
Meski kedua isu ini kerap menjadi topik dalam berbagai diskusi publik dan forum kebijakan, namun pada kenyataannya, penerapan di lapangan belum sepenuhnya mencerminkan keberpihakan pada masyarakat pekerja maupun kelompok rentan lainnya. Hal ini menjadi sorotan tajam dari anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur, Agusriansyah Riduan, yang tampil dengan suara kritis dan penuh semangat untuk memperjuangkan keadilan sosial.
Sebagai politisi muda yang aktif dalam isu-isu kesejahteraan rakyat, Agusriansyah menegaskan bahwa persoalan UMR tidak bisa dipandang remeh. Isu ini, menurutnya, berkaitan langsung dengan nasib dan kelangsungan hidup para pekerja yang menjadi tulang punggung pembangunan daerah. Ia menyoroti adanya potensi ketimpangan dalam penerapan standar upah minimum di berbagai sektor, terutama sektor industri besar yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar namun belum tentu memberikan kompensasi yang layak.
“Upah Minimum Regional bukan sekadar angka, tapi cerminan dari nilai keadilan dan kesejahteraan yang seharusnya dirasakan para pekerja. Kami di Komisi IV melihat pentingnya melakukan verifikasi dan identifikasi data terkait penerapan UMR agar benar-benar sesuai dengan realitas di lapangan,” ujarnya dengan nada tegas.
Lebih jauh, Agusriansyah mengungkapkan bahwa langkah konkret tengah dipersiapkan oleh Komisi IV DPRD Kaltim. Salah satunya adalah menyusun mekanisme pengumpulan data dan verifikasi lapangan untuk mengevaluasi penerapan UMR secara menyeluruh, termasuk melihat sektor-sektor mana saja yang belum mematuhi regulasi atau bahkan menekan hak-hak pekerja. Selain itu, koordinasi lintas komisi juga dilakukan sebagai bentuk sinergi internal legislatif dalam merumuskan kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Menurutnya, kebijakan upah harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup layak (KHL) dan memperhitungkan berbagai faktor ekonomi lokal yang dinamis. Hal ini penting agar UMR tidak hanya menjadi patokan formal, tetapi benar-benar memberi dampak terhadap peningkatan kualitas hidup para buruh dan keluarganya.
Namun bukan hanya soal upah yang menjadi sorotan. Agusriansyah juga mengkritisi alokasi dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang dinilai belum optimal dalam menyentuh kebutuhan esensial masyarakat. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh tim internal Komisi IV, ditemukan bahwa sekitar 70 persen dana CSR masih difokuskan pada pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan dan gedung, yang meskipun penting, seringkali tidak berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
“CSR bukan hanya tentang membangun tembok atau menambal jalan. Esensinya adalah kehadiran nyata perusahaan dalam kehidupan sosial masyarakat. Sektor kesehatan, pendidikan, pemberdayaan perempuan, dan pengembangan UMKM harus menjadi prioritas,” jelasnya.
Melihat realita tersebut, Komisi IV kini sedang melakukan kajian ulang terhadap regulasi yang mengatur dana CSR, termasuk rencana revisi Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi payung hukum dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Tujuannya adalah untuk memastikan adanya arah baru dalam penyaluran dana CSR, yang lebih bersifat inklusif dan berkelanjutan.
Agusriansyah menambahkan bahwa tantangan dalam upaya ini memang tidak ringan. Diperlukan komitmen bersama antara DPRD, pemerintah daerah, dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kalimantan Timur. Kesadaran akan pentingnya keadilan sosial harus menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif dalam membangun provinsi yang adil, berkelanjutan, dan sejahtera.
“Kita harus mengubah paradigma bahwa CSR adalah formalitas. Ia harus menjadi instrumen perubahan sosial. Demikian juga UMR, harus menjadi cermin keberpihakan kita kepada kaum pekerja. Ini bukan sekadar tugas DPRD, tapi amanah konstitusional untuk menjamin kesejahteraan rakyat,” ucapnya.
Sebagai penutup, Agusriansyah menyatakan bahwa dirinya dan seluruh anggota Komisi IV tidak akan tinggal diam menghadapi ketimpangan-ketimpangan tersebut. Dengan semangat reformasi kebijakan dan penguatan pengawasan, ia yakin bahwa langkah-langkah kecil yang diambil hari ini akan menjadi fondasi kuat bagi perubahan besar di masa depan.
“Kami tidak ingin hanya menjadi penonton dalam proses pembangunan. Kami ingin menjadi penggerak, penjaga, dan penyeimbang agar pembangunan yang terjadi benar-benar inklusif dan berpihak kepada rakyat kecil. Ini adalah awal dari perjuangan untuk Kalimantan Timur yang lebih adil dan manusiawi,” pungkasnya.
Dengan suara-suara seperti Agusriansyah Riduan di parlemen daerah, harapan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan, kesejahteraan, dan keadilan sosial tidak sekadar menjadi retorika. Kini tinggal bagaimana seluruh pemangku kepentingan menjawabnya dengan tindakan nyata. (adv)