BerandaDPRD KaltimKomisi I DPRD Kalimantan...

Komisi I DPRD Kalimantan Timur Ambil Peran Aktif dalam Sengketa Lahan Antara PT KPC dan Kelompok Tani di Sangatta Utara

Terbaru

Samarinda – Isu agraria yang melibatkan masyarakat lokal dan perusahaan besar kembali menjadi perhatian serius di Kalimantan Timur. Kali ini, sorotan tertuju pada sengketa lahan antara PT Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia, dengan dua kelompok tani yang beroperasi di wilayah Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur. Kelompok Tani Bina Bumi Keraitan dan Kelompok Tani Multi Guna menyatakan keberatan atas aktivitas operasional perusahaan yang mereka duga telah memasuki dan menguasai lahan milik mereka tanpa proses pembebasan yang tuntas dan adil.

Kedua kelompok tani tersebut mengklaim memiliki dasar legal atas sebagian lahan yang kini masuk dalam konsesi pertambangan PT KPC. Namun, hingga kini, belum ditemukan titik temu dalam proses mediasi yang telah dilakukan di berbagai tingkat pemerintahan dan institusi, mulai dari aparatur desa hingga pihak kepolisian di wilayah sekitar. Merasa bahwa hak-hak mereka tidak mendapat perlindungan dan kejelasan, kelompok tani tersebut kemudian menyampaikan pengaduan secara resmi kepada DPRD Provinsi Kalimantan Timur.

Menanggapi pengaduan itu, Komisi I DPRD Kaltim, yang memiliki mandat dalam urusan pemerintahan, hukum, dan hak asasi masyarakat, segera mengambil langkah dengan mengundang manajemen PT KPC untuk melakukan pertemuan tertutup guna mendapatkan penjelasan langsung. Dalam pertemuan itu, Komisi I berusaha menggali informasi sebanyak mungkin terkait latar belakang persoalan, proses administrasi pembebasan lahan, serta dokumentasi hukum yang digunakan oleh perusahaan.

Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, menyampaikan bahwa berdasarkan keterangan dari PT KPC, perusahaan telah melakukan pembebasan lahan secara bertahap sejak lebih dari satu dekade yang lalu, dan seluruh proses tersebut dilakukan dengan mengikuti prosedur legal yang berlaku. PT KPC mengklaim bahwa lahan yang kini dipermasalahkan sebenarnya telah dibebaskan kepada warga yang memiliki bukti kepemilikan yang sah, yang diakui secara administratif oleh pemerintah desa setempat.

“Kami sudah menerima sejumlah dokumen legal dan kronologi dari pihak perusahaan. Namun, karena terdapat perbedaan informasi dan bahkan tumpang tindih klaim dari berbagai pihak, maka kami memandang bahwa persoalan ini belum bisa diputuskan secara sepihak. Perlu pendalaman lebih lanjut yang melibatkan semua pihak secara langsung,” ungkap Salehuddin.

Ia menjelaskan bahwa Komisi I berkomitmen untuk menggali perspektif dari kedua sisi, tidak hanya dari perusahaan, tetapi juga dari kelompok tani yang merasa dirugikan. Dengan begitu, langkah-langkah yang diambil akan memiliki dasar informasi yang objektif dan adil. Komisi I akan mengatur agenda pertemuan selanjutnya yang akan mempertemukan para perwakilan kelompok tani guna mendengarkan penjelasan, bukti, dan harapan dari pihak masyarakat.

Sementara itu, dari sisi PT KPC, Manajer Land Management, Bambang, menegaskan bahwa perusahaan memiliki komitmen untuk menghargai dan melindungi hak masyarakat. Ia menjelaskan bahwa setiap proses pembebasan lahan dilakukan melalui prosedur hukum yang jelas, dihadiri oleh pejabat desa, dan disahkan melalui akta notaris sebagai bentuk legalitas.

“Kami tidak pernah berniat merugikan siapa pun. Dalam setiap transaksi pembebasan, kami bekerja sama dengan tokoh masyarakat, kepala desa, dan saksi-saksi sah untuk memastikan bahwa pihak yang menerima ganti rugi memang benar-benar berhak atas lahan tersebut,” jelas Bambang.

Namun demikian, Bambang juga mengungkapkan bahwa dalam kasus ini terjadi situasi yang kompleks karena adanya tumpang tindih klaim lahan di internal kelompok tani sendiri. Ia mencontohkan Kelompok Tani Multi Guna yang memiliki beberapa individu dengan klaim berbeda atas lahan yang sama. Salah satu nama yang disebutkan adalah Christopher Blegur, yang semula menjadi kuasa dari almarhum Rahman Salim. Setelah Rahman meninggal dunia, Christopher kemudian mengklaim sebagai pemilik sah atas lahan seluas kurang lebih 400 hektare yang terletak di Desa Swarga Bara.

Menurut PT KPC, sebagian besar dari area tersebut telah dibebaskan jauh sebelumnya kepada pihak lain yang memiliki legalitas kuat. Atas dasar dugaan manipulasi dokumen dalam proses klaim tersebut, perusahaan telah membawa masalah ini ke ranah hukum dan saat ini sedang berlangsung proses penyelidikan oleh aparat penegak hukum.

Tidak hanya itu, Manajer PT KPC lainnya, Jarot, menyatakan bahwa beberapa area yang diklaim oleh Kelompok Tani Bina Bumi Keraitan juga berada di atas lahan yang telah difungsikan sebagai fasilitas milik Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, termasuk bangunan kantor pemerintah. Hal ini semakin memperumit status kepemilikan lahan yang disengketakan. Ia menyebut bahwa sebelumnya telah dilakukan beberapa kali mediasi di tingkat desa dan kepolisian, namun hasilnya menyarankan agar penyelesaian dilakukan melalui proses hukum yang sah demi kejelasan status lahan dan keadilan bagi seluruh pihak.

Menanggapi kompleksitas permasalahan ini, Komisi I DPRD Kaltim menegaskan posisi netralnya sebagai fasilitator yang bertugas menjembatani kepentingan masyarakat dan dunia usaha. Komisi berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara hak konstitusional masyarakat atas tanah dan kebutuhan akan kepastian hukum bagi investor.

“Penyelesaian konflik agraria seperti ini memang memerlukan ketelitian tinggi. Kami ingin memastikan bahwa masyarakat mendapatkan keadilan, tetapi juga tidak menciptakan ketidakpastian hukum yang bisa menghambat investasi di daerah. Untuk itu, kami sedang merancang forum dialog terbuka yang melibatkan semua pihak, termasuk instansi pertanahan dan jika perlu aparat penegak hukum, agar solusi yang diambil benar-benar menyeluruh dan dapat diterima semua pihak,” jelas Salehuddin.

Langkah-langkah yang sedang dijalankan Komisi I DPRD Kaltim ini menunjukkan keseriusan lembaga legislatif dalam menangani sengketa yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Melalui pendekatan dialog, pemeriksaan dokumen legal, serta keterlibatan pihak-pihak berwenang, diharapkan permasalahan ini dapat diselesaikan secara adil, transparan, dan konstitusional. Komisi I berharap, dengan adanya ruang mediasi yang tepat dan dukungan dari semua pihak, konflik ini dapat menemukan titik terang yang tidak hanya berpihak pada satu sisi, tetapi mencerminkan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat Kalimantan Timur. (adv)

Trending Minggu Ini

Kamu mungkin juga suka