BerandaDPRD KaltimKrisis Banjir di Loa...

Krisis Banjir di Loa Janan Ilir Jadi Sorotan DPRD Kaltim: Serukan Evaluasi Tambang Hulu dan Perombakan Tata Kelola Lingkungan

Terbaru

SAMARINDA — Bencana banjir kembali melanda sejumlah wilayah di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, dengan dampak paling parah dirasakan oleh warga Kecamatan Loa Janan Ilir. Genangan air yang tinggi merendam puluhan rumah dan menutup akses vital seperti Jalan HM Rifadin, jalur utama penghubung antar kawasan yang kini lumpuh total akibat tergenang air dalam waktu yang cukup lama.

Banjir yang terjadi kali ini bukan hanya menimbulkan kerugian material, tetapi juga memantik keprihatinan mendalam dari kalangan legislatif daerah. Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Darlis Pattalongi, menyatakan bahwa bencana tersebut harus dilihat sebagai peringatan serius atas gagalnya tata kelola lingkungan yang berkelanjutan. Menurutnya, penyebab utama tidak semata-mata terletak pada kondisi cuaca ekstrem, tetapi pada akar persoalan yang lebih struktural dan kompleks.

“Loa Janan Ilir saat ini menjadi gambaran nyata bagaimana dampak lingkungan yang tidak dikelola dengan baik dapat melumpuhkan aktivitas masyarakat secara luas. Jalan utama seperti HM Rifadin, yang merupakan nadi mobilitas warga, kini tidak bisa dilalui karena genangan yang tidak surut. Ini bukan hanya persoalan banjir, tetapi juga persoalan tata ruang, infrastruktur, dan regulasi yang selama ini abai terhadap kondisi lapangan,” ujar Darlis dengan tegas.

Ia menambahkan bahwa kondisi masyarakat yang harus bertahan di tengah keterbatasan bantuan darurat menunjukkan masih lemahnya sistem mitigasi bencana di daerah. Sejumlah dapur umum dan posko bantuan memang telah didirikan, namun tidak cukup untuk menjawab kebutuhan masyarakat terdampak yang jumlahnya terus bertambah.

Dalam pandangannya, banjir yang terus berulang di Samarinda merupakan akumulasi dari lemahnya sistem drainase, pengabaian terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan, serta dampak dari aktivitas industri ekstraktif seperti pertambangan di daerah hulu. Wilayah Samarinda sebagai daerah hilir menanggung beban limpahan air dari kawasan-kawasan di sekitarnya yang telah mengalami perubahan fungsi lahan secara masif.

“Bukan hanya karena curah hujan yang tinggi. Kita tidak bisa terus menyalahkan alam. Justru kita perlu bertanya sejauh mana kebijakan pembangunan kita memperhitungkan risiko ekologis. Di kawasan hulu, aktivitas tambang mengubah lanskap tanah, mempercepat aliran permukaan, dan menyebabkan air dengan volume besar mengalir deras ke wilayah hilir seperti Samarinda. Sementara di sisi lain, sistem drainase kita belum mengalami peningkatan signifikan,” paparnya.

Darlis menilai, selama ini pendekatan penanganan banjir masih bersifat reaktif dan jangka pendek. Upaya pembenahan cenderung dilakukan ketika bencana sudah terjadi, bukan dengan mencegah sejak awal. Oleh sebab itu, ia mendesak Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk segera menyusun strategi penanganan banjir yang lebih komprehensif dan menyeluruh, termasuk merevisi sistem perizinan tambang di wilayah hulu dan memprioritaskan perbaikan sistem drainase di daerah rawan.

Ia juga menyarankan pembangunan infrastruktur pengendalian banjir yang lebih modern dan terintegrasi, seperti kolam retensi, waduk pengendali, serta penataan ulang kawasan resapan air. Selain itu, perlu ada langkah reforestasi di kawasan-kawasan yang telah mengalami degradasi lingkungan akibat kegiatan industri, khususnya pertambangan dan alih fungsi lahan.

“Kondisi ini menuntut langkah luar biasa. Samarinda sebagai ibu kota provinsi tidak boleh terus-terusan menjadi korban pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Sudah saatnya kita membuat perencanaan berbasis risiko bencana dan data ilmiah, bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa melihat daya dukung dan daya tampung lingkungan,” tegasnya.

Dalam kapasitasnya sebagai anggota DPRD, Darlis menyatakan komitmennya untuk terus mengawal isu-isu lingkungan hidup dan infrastruktur melalui jalur legislasi dan pengawasan. Ia juga mendorong adanya kolaborasi aktif antara pemerintah, DPRD, akademisi, komunitas lingkungan, dan masyarakat sipil untuk membentuk strategi pengelolaan air dan perlindungan ekosistem secara berkelanjutan.

Lebih jauh, ia menekankan perlunya evaluasi serius terhadap sektor tambang di Kalimantan Timur, termasuk audit lingkungan terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di kawasan hulu sungai. Menurutnya, kontribusi ekonomi dari sektor tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan dampak ekologis yang ditimbulkan.

“Perusahaan tambang harus ikut bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan dari aktivitas mereka. Tidak cukup hanya membayar pajak atau membuat program CSR. Mereka harus dilibatkan dalam perbaikan sistem lingkungan secara nyata, termasuk pemulihan kawasan yang telah rusak. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan bencana berulang tanpa solusi,” pungkasnya.

Dengan frekuensi bencana banjir yang semakin meningkat di Kalimantan Timur, terutama di Kota Samarinda, Darlis berharap ada perubahan mendasar dalam paradigma pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam. Ia menyerukan perlunya kesadaran kolektif dan keberanian politik untuk menata ulang arah pembangunan daerah agar lebih adil secara ekologis dan berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang. (adv)

Trending Minggu Ini

Kamu mungkin juga suka