Kalimantan Timur dikenal sebagai salah satu provinsi dengan kekayaan alam yang melimpah, termasuk potensi perairannya yang luas dan strategis. Mulai dari jaringan sungai yang membelah pedalaman hingga pesisir laut yang terbentang luas, kawasan perairan di wilayah ini memiliki peran penting bukan hanya sebagai jalur transportasi dan konektivitas, tetapi juga sebagai sumber daya ekonomi yang sangat menjanjikan. Namun, hingga kini, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal dan belum memberikan kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kondisi ini menjadi perhatian serius dari Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur, Sapto Setyo Pramono. Dalam rapat kerja internal yang membahas sektor ekonomi daerah, Sapto mengungkapkan kekecewaannya terhadap rendahnya pemanfaatan sektor perairan dalam mendukung kemandirian fiskal provinsi. Meski kecewa, ia menyatakan tekad kuat untuk mengubah paradigma lama terkait pengelolaan wilayah sungai dan laut di Kalimantan Timur.
“Kita memiliki wilayah perairan yang begitu luas dan potensial, tetapi hingga saat ini belum ada kontribusi finansial yang masuk ke kas daerah dari sektor ini. Ini menjadi ironi yang harus segera kita jawab dengan langkah konkret,” tegas Sapto dalam pernyataannya yang penuh optimisme dan semangat reformasi.
Sapto menyoroti bahwa jaringan sungai di Kalimantan Timur bukan hanya berfungsi sebagai jalur transportasi tradisional bagi masyarakat, tetapi juga telah menjadi rute vital dalam kegiatan industri dan logistik. Banyak aktivitas ekonomi berlangsung di atas perairan, namun sayangnya, belum ada dasar hukum yang memungkinkan daerah untuk menarik manfaat ekonomi dari aktivitas tersebut secara legal dan terstruktur.
Sebagian besar dari aliran pendapatan yang mungkin ditarik melalui retribusi atau pemanfaatan ruang air masih menguap tanpa regulasi yang mengikat. Sapto menyebut ini sebagai masalah struktural yang memerlukan pembenahan serius, bukan sekadar perbaikan administratif, tetapi juga reformasi kebijakan secara menyeluruh.
“Kita sedang berbicara soal kedaulatan fiskal atas ruang hidup kita sendiri. Kalau pengelolaan ini kita biarkan terus-menerus dikuasai oleh rezim hukum lama yang sudah tidak relevan, maka Kalimantan Timur akan terus menjadi penonton di tanah sendiri,” ujarnya.
Sebagai bagian dari upaya penyusunan solusi konkret, Komisi II DPRD Kalimantan Timur telah melakukan studi banding ke Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kota ini dianggap sebagai contoh sukses dalam memaksimalkan potensi sungai, khususnya Sungai Barito, sebagai sumber pendapatan daerah. Dengan sistem pemungutan retribusi labuh kapal, penataan zona tambat, hingga pengelolaan sempadan sungai untuk aktivitas ekonomi legal, Banjarmasin telah mampu menjadikan sungai sebagai aset fiskal yang berkelanjutan.
Sapto melihat keberhasilan tersebut bukan semata hasil dari regulasi, tetapi buah dari sinergi antarlembaga serta kemauan politik yang kuat untuk menata sektor yang selama ini dianggap ‘bebas hambatan’ tersebut.
“Di sana, kita belajar bahwa pengelolaan perairan tidak harus selalu tergantung pada pusat. Pemerintah daerah bisa berperan aktif selama memiliki perangkat hukum dan kelembagaan yang memadai. Kita bisa melakukan hal yang sama, bahkan lebih baik, kalau kita punya political will,” jelasnya.
Namun demikian, Sapto menyadari bahwa tantangan di Kalimantan Timur jauh lebih kompleks. Salah satu hambatan utama yang diidentifikasi adalah kerangka hukum yang digunakan saat ini sudah jauh tertinggal dari realitas lapangan. Ia menyebut Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1989 yang hingga kini masih dijadikan acuan, sudah tidak lagi memadai untuk mengatur dinamika pemanfaatan wilayah air di era modern.
“Peraturan itu dibuat lebih dari tiga dekade lalu. Tidak relevan dengan konteks kekinian, tidak mencakup pengelolaan laut hingga 12 mil, dan juga tidak memberi peran aktif kepada perusahaan daerah. Ini harus direvisi atau kalau perlu dibuat Perda baru yang benar-benar menjawab tantangan dan kebutuhan saat ini,” katanya dengan tegas.
Komisi II DPRD Kaltim kini tengah mendorong lahirnya peraturan daerah baru yang secara khusus mengatur pengelolaan kawasan perairan, termasuk penataan zona labuh kapal, jalur pelayaran sungai, pemanfaatan sempadan untuk kegiatan komersial, hingga sistem distribusi hasil tambang melalui jalur air. Regulasi ini diharapkan dapat menjadi dasar hukum yang kuat bagi pemerintah daerah untuk menarik PAD secara legal dari aktivitas ekonomi di perairan.
Tak hanya itu, Sapto juga menekankan bahwa pembenahan sektor perairan tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan pendekatan kolaboratif dan lintas sektor yang melibatkan organisasi perangkat daerah (OPD), pemerintah kabupaten/kota, perusahaan daerah (Perusda), serta masyarakat pesisir yang selama ini hidup berdampingan dengan sungai dan laut.
Ia mengusulkan pembentukan tim kerja lintas instansi dan lintas wilayah untuk merancang rencana induk pengelolaan perairan berbasis PAD. Sebagai langkah awal, beberapa usulan strategis telah disiapkan oleh Komisi II, seperti pembentukan zona tambat kapal yang diatur oleh Perda, pengembangan zona labuh komersial untuk menunjang kebutuhan logistik industri, dan skema kerja sama pengelolaan antara pemerintah daerah dengan BUMD.
“Kalau kita bisa menyusun perangkat hukum dan tata kelola kelembagaan yang baik, saya yakin sungai dan laut ini tidak akan lagi menjadi beban, tapi justru menjadi sumber kekuatan fiskal daerah. Selain menambah PAD, ini juga akan menciptakan lapangan kerja dan mendorong iklim investasi sektor maritim yang sehat,” papar Sapto.
Ia menambahkan bahwa perjuangan untuk mengangkat sektor perairan sebagai pilar ekonomi bukan hanya soal angka atau target pendapatan, tetapi lebih dalam dari itu — soal kemandirian daerah, keadilan pembangunan, dan pemulihan hak kelola atas ruang hidup masyarakat lokal.
Bagi Sapto dan Komisi II DPRD Kalimantan Timur, sektor perairan bukan sekadar aliran air yang menghubungkan wilayah, tetapi adalah nadi ekonomi yang selama ini terlupakan. Dari ruang legislatif hingga bantaran sungai yang menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, semangat untuk membangkitkan sektor ini terus dikobarkan.
Dalam visi mereka, pengelolaan perairan bukan hanya menjadi cara meningkatkan pendapatan daerah, tetapi juga menjadi simbol kedaulatan dan kemampuan daerah dalam mengelola asetnya sendiri demi kesejahteraan rakyat. Dengan tekad dan kerja nyata, Kalimantan Timur diharapkan mampu membalikkan situasi: dari wilayah yang hanya dilewati kapal-kapal industri, menjadi daerah yang mengendalikan, mengatur, dan memetik hasil dari perairannya sendiri. (adv)