Provinsi Kalimantan Timur tengah menghadapi tantangan besar dalam sektor kesehatan masyarakat, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang kini hampir mencapai 4 juta jiwa. Persoalan serius yang menjadi sorotan adalah keterbatasan jumlah tenaga medis, khususnya dokter umum dan spesialis, yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat atas layanan kesehatan yang merata dan berkualitas di seluruh wilayah provinsi.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Andi Satya Adi Saputra, yang juga berprofesi sebagai dokter sekaligus akademisi di bidang kesehatan, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi tersebut. Ia menyebut bahwa berdasarkan data terakhir, jumlah dokter aktif di Kalimantan Timur hanya sekitar 2.000 orang. Angka ini sangat jauh dari rekomendasi standar ideal yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu satu dokter untuk setiap 1.000 penduduk.
“Jika kita mengikuti standar WHO, maka dengan jumlah penduduk hampir 4 juta jiwa, Kalimantan Timur semestinya memiliki setidaknya 4.000 dokter. Artinya, kita masih kekurangan sekitar 50 persen dari jumlah ideal,” ujar Andi Satya dalam keterangannya.
Krisis ini, menurutnya, tidak hanya menyangkut aspek kuantitas, tetapi juga menyentuh persoalan distribusi tenaga medis yang sangat tidak merata. Dari total dokter yang ada, sekitar 80 persen tersebar di tiga kota besar, yakni Samarinda sebagai ibu kota provinsi, Balikpapan yang merupakan pusat ekonomi, serta Bontang yang dikenal sebagai kota industri. Sementara itu, wilayah lain seperti kabupaten di pedalaman dan kawasan perbatasan mengalami kekosongan layanan medis yang cukup parah.
Ia mencontohkan kondisi di beberapa wilayah perbatasan yang bahkan belum memiliki dokter tetap. Masyarakat di sana terpaksa harus menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan hingga ke kota, hanya untuk mendapatkan layanan pengobatan dasar. Ini tentu menjadi hambatan besar dalam menjamin hak masyarakat atas kesehatan yang layak, terutama bagi mereka yang berada jauh dari pusat pelayanan.
“Distribusi dokter yang tidak merata ini mengakibatkan ketimpangan besar dalam akses layanan kesehatan. Warga di pelosok sering kali menjadi korban karena minimnya ketersediaan tenaga medis dan fasilitas kesehatan. Padahal mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik,” tegasnya.
Lebih lanjut, Andi Satya mengungkapkan bahwa dari jumlah total dokter yang ada saat ini, hanya sekitar 800 orang yang merupakan dokter spesialis. Dan dari angka tersebut, sebagian besar lebih memilih untuk menetap dan membuka praktik di kota besar karena ketersediaan fasilitas yang lebih baik serta insentif finansial yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan bertugas di daerah terpencil.
“Saya pribadi tidak menyalahkan para dokter yang merasa enggan ditugaskan ke pelosok. Kondisi infrastruktur yang tidak memadai, fasilitas rumah sakit yang minim, peralatan medis yang terbatas, dan kesejahteraan yang belum terjamin membuat daerah-daerah ini tidak menarik bagi tenaga medis,” jelasnya.
Dalam pandangannya, solusi dari masalah ini harus datang dari pemerintah melalui langkah-langkah strategis dan konkret. Pemerintah, menurutnya, harus berani melakukan investasi besar dalam pengembangan sistem layanan kesehatan di daerah-daerah yang selama ini belum tersentuh secara optimal. Ini termasuk pembangunan dan peningkatan rumah sakit maupun puskesmas, penyediaan alat-alat kesehatan yang memadai, serta pemberian insentif dan jaminan kesejahteraan bagi dokter maupun tenaga medis lainnya yang bersedia bertugas di wilayah terpencil.
“Kalau kita ingin melihat adanya peningkatan layanan kesehatan di seluruh Kalimantan Timur, terutama di daerah pedalaman dan perbatasan, maka pembangunan fasilitas kesehatan harus menjadi prioritas utama. Pemerintah harus bisa menjamin bahwa dokter yang ditempatkan di sana tidak hanya sekadar hadir, tetapi juga bisa bekerja secara profesional dan nyaman,” tambahnya.
Selain infrastruktur, ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah daerah, lembaga pendidikan, institusi kesehatan, dan organisasi profesi untuk menciptakan sistem rekrutmen dan penempatan dokter yang adil dan berkelanjutan. Ia juga mendorong diterapkannya kebijakan afirmatif yang memberikan perhatian khusus kepada wilayah tertinggal dalam hal distribusi tenaga medis.
“Jika kita ingin menciptakan sistem kesehatan yang inklusif dan adil, maka tidak cukup hanya menambah jumlah dokter. Kita harus merancang kebijakan yang menjamin bahwa setiap masyarakat, tanpa memandang lokasi geografisnya, dapat mengakses layanan kesehatan yang setara dan bermutu,” pungkas Andi Satya.
Pernyataan ini menjadi peringatan penting bagi para pemangku kebijakan untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem kesehatan di Kalimantan Timur. Sebab tanpa intervensi yang serius dan terstruktur, krisis kekurangan dokter ini dapat berdampak jangka panjang terhadap kualitas hidup masyarakat, khususnya mereka yang berada di wilayah yang paling membutuhkan. (adv)