Keresahan masyarakat terkait penggunaan jalan umum oleh kendaraan tambang sebagai jalur operasional hauling di wilayah Kutai Timur kembali menjadi sorotan. Komisi III DPRD Provinsi Kalimantan Timur melakukan peninjauan langsung ke sejumlah titik rawan di kawasan tersebut, khususnya di sepanjang ruas Jalan Poros Sangatta – Bengalon, yang dikenal sebagai jalur vital bagi mobilitas warga setempat.
Dipimpin oleh Ketua Komisi III, Abdulloh, rombongan anggota legislatif ini turun langsung ke lapangan guna menindaklanjuti berbagai aduan masyarakat yang merasa terganggu dengan aktivitas kendaraan tambang, terutama truk-truk berat yang melintasi jalan umum. Kehadiran kendaraan-kendaraan besar tersebut dinilai mengganggu kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan lain, serta mempercepat kerusakan infrastruktur jalan yang dibiayai dari anggaran negara.
Dalam wawancara di lokasi peninjauan, Abdulloh menyatakan bahwa hasil observasi di lapangan membenarkan laporan warga. Ia menyoroti praktik perusahaan tambang yang memanfaatkan jalan nasional untuk kepentingan operasional mereka. Salah satu perusahaan yang disebut menggunakan jalan umum sebagai jalur perlintasan hauling adalah PT Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar yang beroperasi di Kalimantan Timur.
“Ini bukan sekadar isu biasa. Masyarakat terganggu, lalu lintas terganggu, dan potensi kecelakaan pun meningkat. Jalan umum itu milik publik dan tidak didesain untuk kendaraan tambang berat,” tegas Abdulloh.
Ia menjelaskan bahwa kendaraan tambang, terutama truk jenis Heavy Duty (HD), memiliki dimensi dan bobot yang tidak sesuai dengan spesifikasi jalan umum. Kondisi ini tidak hanya menyulitkan pengguna jalan lainnya yang terpaksa berhenti saat truk melintas, tetapi juga mengancam daya tahan jalan, yang pada akhirnya berdampak pada anggaran perawatan yang harus ditanggung pemerintah.
Abdulloh dengan tegas meminta agar perusahaan-perusahaan seperti KPC segera mengambil langkah strategis dan konkret dengan membangun jalur perlintasan sendiri, baik berupa jembatan layang (flyover) maupun jalan bawah tanah (underpass). Menurutnya, perusahaan besar yang telah beroperasi selama puluhan tahun di daerah tersebut semestinya memiliki kemampuan dan kesadaran untuk tidak membebani infrastruktur publik.
“Pembangunan jalur hauling mandiri adalah bentuk tanggung jawab sosial dan operasional yang harus diemban perusahaan. Jangan hanya mengejar keuntungan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat,” ujarnya lagi.
Tak hanya KPC, desakan serupa juga diarahkan kepada perusahaan tambang lain seperti PT Indexim Coalindo yang turut beroperasi di wilayah Kutai Timur. Komisi III DPRD Kaltim meminta agar seluruh perusahaan tambang memiliki kesadaran kolektif dalam menjaga ketertiban, keselamatan, dan kenyamanan masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas industri mereka.
Abdulloh juga menegaskan bahwa tanggung jawab perusahaan tidak hanya sebatas pada aspek operasional dan produksi, melainkan juga mencakup kewajiban sosial yang nyata. Ia menyoroti pentingnya pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) dan reklamasi lahan pasca tambang yang sesuai regulasi. Baginya, kontribusi perusahaan terhadap pembangunan daerah harus lebih konkret dan terukur.
“CSR itu bukan lagi bersifat sukarela, melainkan kewajiban. Perusahaan harus transparan, termasuk soal pelaksanaan reklamasi. Kita juga ingin memastikan bahwa produksi tambang yang besar itu benar-benar membawa manfaat luas bagi masyarakat Kalimantan Timur,” ujar Abdulloh yang juga pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Balikpapan.
Senada dengan itu, anggota Komisi III lainnya, Arfan, yang berasal dari daerah pemilihan Kutai Timur, Bontang, dan Berau, menyatakan bahwa ia menerima banyak keluhan dari warga terkait perlintasan truk tambang di jalan umum. Menurutnya, keluhan tersebut datang dari berbagai kalangan, mulai dari pengendara pribadi, pengusaha lokal, hingga sopir angkutan umum yang merasa keselamatannya terancam.
“Truk-truk tambang itu besar, lambat, dan membawa muatan berat. Akibatnya, kendaraan lain harus mengalah atau menunggu mereka lewat. Ini sangat berisiko, terutama di jalur-jalur padat atau saat jam sibuk,” jelas Arfan.
Ia juga menambahkan bahwa dampak yang ditimbulkan bukan hanya dari segi keselamatan, tetapi juga kerusakan jalan. Infrastruktur jalan yang dibangun dengan dana APBN maupun APBD, menurutnya, tidak dirancang untuk beban kendaraan tambang yang sangat berat. Hal ini menyebabkan umur jalan menjadi lebih pendek dan membebani anggaran daerah untuk perbaikan yang berulang.
Sebagai bentuk tindak lanjut dari peninjauan tersebut, Komisi III DPRD Kaltim menyatakan komitmennya untuk mendorong evaluasi menyeluruh terhadap praktik operasional perusahaan tambang, khususnya dalam penggunaan fasilitas umum. Mereka berencana memanggil pihak-pihak terkait, termasuk perusahaan tambang dan instansi pemerintah, guna membahas solusi konkret dan berkelanjutan.
“Kami tidak menghambat aktivitas ekonomi. Namun, semua pihak harus taat pada aturan dan memprioritaskan kepentingan publik. Pembangunan flyover, underpass, atau jalur hauling mandiri harus menjadi bagian dari rencana jangka panjang perusahaan,” kata Abdulloh menutup keterangannya.
Dengan langkah ini, DPRD Kaltim berharap terbangun kesadaran kolektif bahwa aktivitas pertambangan harus selaras dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan, demi menciptakan harmoni antara industri dan kehidupan masyarakat sekitar. (adv)