BerandaDPRD Kaltimrisis Tenaga Medis di...

risis Tenaga Medis di Kalimantan Timur: Antara Tantangan Nyata dan Harapan Melalui Inovasi Digital

Terbaru

Kalimantan Timur, sebuah provinsi yang dikenal kaya akan sumber daya alam seperti batu bara, minyak, dan gas bumi, menyimpan sebuah paradoks yang mengusik nurani. Di balik kemegahan potensi ekonominya, sektor kesehatan di daerah ini masih berjuang menghadapi kenyataan pahit: krisis kekurangan tenaga medis yang belum terselesaikan hingga kini.

Di tengah geliat pembangunan infrastruktur dan peningkatan investasi yang terus digaungkan, kualitas pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat masih menghadapi hambatan besar. Terutama di wilayah pedalaman dan terpencil, layanan kesehatan belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara adil dan merata.

Menurut data yang dihimpun, Kalimantan Timur idealnya membutuhkan sekitar 4.000 tenaga medis untuk memenuhi standar pelayanan kesehatan yang memadai. Namun realitasnya, jumlah tenaga medis yang aktif di lapangan hanya mencapai sekitar setengah dari angka ideal tersebut. Kesenjangan inilah yang kemudian melahirkan dampak nyata bagi masyarakat, khususnya mereka yang tinggal jauh dari pusat kota.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Andi Satya Adi Saputra, secara terbuka menyuarakan keprihatinannya terhadap situasi ini. Ia menilai bahwa kualitas layanan kesehatan di sejumlah daerah masih jauh dari harapan dan belum mencerminkan keadilan sosial sebagaimana mestinya.

“Idealnya satu dokter melayani sekitar seribu pasien. Namun yang kita hadapi sekarang, satu dokter bisa menangani beberapa ribu pasien sekaligus, bahkan ada wilayah yang hanya bisa dikunjungi dokter beberapa kali dalam sebulan. Ini jelas tidak sehat bagi sistem pelayanan kesehatan kita,” ujarnya dengan nada serius.

Kondisi tersebut tidak lagi sebatas isu administratif, melainkan telah menimbulkan penderitaan riil di tengah masyarakat. Tak jarang, ibu-ibu hamil di kawasan pedalaman harus melakukan perjalanan belasan bahkan puluhan kilometer demi mendapatkan layanan persalinan. Lansia dan penderita penyakit kronis pun kerap kali harus antre lama karena keterbatasan jadwal kunjungan dokter ke puskesmas daerah.

Di tengah keterbatasan ini, teknologi mulai membuka celah harapan. Konsep layanan kesehatan berbasis digital atau yang dikenal dengan telemedicine kini mulai dilirik sebagai solusi taktis. Dengan dukungan jaringan internet yang semakin meluas, telemedicine dinilai dapat menjawab sebagian kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan yang cepat dan efisien, meski secara fisik dokter tidak berada di lokasi yang sama.

Andi Satya mengapresiasi langkah ini dan menyebut bahwa telemedicine bukan hanya sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak yang harus segera diadopsi oleh semua lapisan pemerintahan, terutama untuk wilayah-wilayah yang sulit dijangkau secara konvensional.

“Pemanfaatan teknologi dalam layanan kesehatan adalah langkah maju yang harus kita dukung bersama. Kita harus menjadikan telemedicine sebagai jembatan layanan, khususnya untuk masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil yang tidak bisa setiap saat dijangkau tenaga medis,” tuturnya.

Namun demikian, Andi mengingatkan bahwa telemedicine hanya dapat menjadi solusi sementara, bukan jawaban jangka panjang atas krisis tenaga kesehatan. Menurutnya, satu-satunya jalan keluar permanen dari masalah ini adalah membangun kapasitas tenaga medis dari dalam daerah sendiri.

Untuk itu, ia mendorong lahirnya kerja sama strategis antara pemerintah daerah dengan berbagai institusi pendidikan, khususnya fakultas kedokteran dan akademi keperawatan, baik yang berada di dalam provinsi maupun di luar Kalimantan Timur. Melalui skema kemitraan ini, mahasiswa asal daerah dapat diberikan beasiswa untuk menempuh pendidikan kedokteran, dengan komitmen untuk kembali mengabdi di kampung halaman setelah lulus.

“Kita harus investasi pada sumber daya manusia. Anak-anak muda daerah yang punya potensi harus difasilitasi agar bisa menjadi dokter, perawat, atau tenaga medis lainnya. Setelah itu, mereka harus diberi ruang untuk mengabdi di daerah asal. Ini bukan hanya soal pendidikan, tapi juga soal keberlanjutan pembangunan,” ucap Andi dengan penuh keyakinan.

Ia juga mengusulkan agar program rotasi tenaga medis dari kota-kota besar ke daerah-daerah terpencil dapat dioptimalkan. Program semacam ini perlu dibarengi dengan pemberian insentif yang layak, baik dalam bentuk tunjangan khusus maupun penghargaan profesional, agar tenaga medis merasa dihargai dan termotivasi untuk bekerja di lokasi-lokasi dengan tantangan geografis tinggi.

“Kita harus memahami bahwa tidak mudah menjadi tenaga medis di pedalaman. Mereka menghadapi medan sulit, fasilitas minim, dan kadang harus berjibaku dengan keterbatasan alat medis. Maka dari itu, apresiasi dalam bentuk insentif sangat penting agar mereka tidak merasa ditinggalkan oleh sistem,” tambahnya.

Dengan berbagai pendekatan tersebut—mulai dari pemanfaatan teknologi, penguatan SDM lokal, hingga insentif profesional—Andi Satya meyakini bahwa Kalimantan Timur dapat keluar dari krisis ini. Ia menilai bahwa langkah-langkah konkret, meskipun tampak kecil hari ini, akan membuahkan hasil besar dalam jangka panjang apabila dilakukan secara konsisten dan terencana.

“Kesehatan adalah hak dasar warga negara. Kita punya tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan semua warga, di mana pun mereka tinggal, mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Kita tidak bisa membiarkan ketimpangan ini terus berlangsung,” tegasnya.

Melalui perjuangan ini, Andi berharap Kalimantan Timur bukan hanya dikenal sebagai provinsi dengan kekayaan alam melimpah, tetapi juga sebagai daerah yang sukses membangun sistem kesehatan yang tangguh, merata, dan berpihak kepada seluruh rakyatnya. Masa depan pelayanan kesehatan Bumi Etam, katanya, harus dibangun dengan kolaborasi, inovasi, dan keberpihakan pada rakyat kecil. (adv)

Trending Minggu Ini

Kamu mungkin juga suka