SAMARINDA — Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur, Ananda Emira Moeis, menyuarakan keprihatinan terhadap lemahnya sistem pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan berbagai program bantuan sosial (bansos) yang diluncurkan di daerah. Dalam sebuah diskusi publik yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi lokal dan dihadiri oleh para pemangku kepentingan dari kalangan legislatif, akademisi, hingga elemen masyarakat sipil, Ananda menekankan bahwa keberhasilan bansos tidak dapat diukur semata-mata dari jumlah bantuan yang diberikan, melainkan dari sejauh mana program tersebut mampu menciptakan kemandirian ekonomi di kalangan penerima manfaat.
Politisi muda dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang akrab disapa Nanda itu menyatakan bahwa pemberian bantuan tidak boleh berhenti pada distribusi modal atau barang, tetapi harus dilengkapi dengan mekanisme pembinaan yang berkelanjutan. Menurutnya, banyak program yang gagal mencapai hasil maksimal karena minimnya pendampingan setelah bantuan diterima.
“Bansos bukan hanya soal memberi. Kita tidak bisa lepas tangan setelah masyarakat diberi bantuan. Tanpa pendampingan, potensi gagalnya besar. Jangan sampai modal yang sudah diberikan malah tidak berkembang dan justru habis tanpa hasil nyata,” ujarnya dalam forum tersebut.
Ia menambahkan bahwa proses pembinaan seharusnya dimulai sejak tahap awal, yakni ketika verifikasi dan validasi calon penerima dilakukan. Pemerintah daerah, lanjutnya, harus benar-benar memastikan bahwa penerima bantuan adalah mereka yang tidak hanya layak secara ekonomi, tetapi juga memiliki rencana usaha yang dapat dikembangkan secara realistis.
“Yang dibutuhkan bukan hanya uang atau barang. Kita harus pastikan mereka punya niat, punya rencana, dan mau dibimbing. Bantuan yang berkelanjutan itu bukan berarti terus-menerus memberi, tapi memberikan bekal agar mereka bisa mandiri dan berkembang,” jelas Nanda.
Sebagai bagian dari solusi, ia mengusulkan agar pemerintah melalui dinas teknis menyusun model program yang terstruktur dengan waktu pendampingan yang jelas, serta target capaian yang terukur. Dengan adanya kurikulum pelatihan usaha, fasilitasi akses pasar, dan bantuan teknis lainnya, maka program bansos bisa menjadi kendaraan efektif dalam mengentaskan kemiskinan.
“Tidak semua penerima langsung bisa sukses mengelola usaha. Maka mereka butuh pembimbing yang paham, bahkan pendampingan kelompok usaha bisa menjadi solusi agar masyarakat saling belajar dan saling dorong untuk maju,” tuturnya.
Diskusi tersebut juga menghadirkan pandangan dari kalangan akademisi. Muhammad Arifin, pengamat sosial dari Universitas Mulawarman, memperkuat argumen Nanda dengan menyoroti perlunya perubahan paradigma dalam tata kelola bantuan sosial. Menurut Arifin, penanganan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara sektoral dan parsial, melainkan memerlukan pendekatan terintegrasi lintas sektor.
“Selama ini kita terlalu fokus pada output, bukan outcome. Padahal, dampak bansos semestinya diukur dari sejauh mana kesejahteraan masyarakat meningkat secara nyata dan berkelanjutan. Kita tidak bisa hanya puas dengan penyerapan anggaran tinggi kalau ternyata manfaatnya tak terasa di lapangan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa ketimpangan yang muncul dalam implementasi bansos sering kali bersumber dari lemahnya data, koordinasi antarlembaga, serta tidak adanya mekanisme pemantauan yang sistematis. Padahal, untuk menciptakan program yang efektif, perencanaan harus berbasis pada kebutuhan riil masyarakat dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat penerima manfaat itu sendiri.
“Kemiskinan adalah masalah kompleks yang menyentuh banyak aspek: pendidikan, kesehatan, akses pekerjaan, dan sebagainya. Maka, bansos harus menjadi bagian dari strategi besar pembangunan manusia, bukan solusi sementara yang bersifat karitatif,” imbuh Arifin.
Baik Nanda maupun Arifin sepakat bahwa pendekatan yang terlalu populis dan dangkal dalam pelaksanaan bansos hanya akan menciptakan ketergantungan baru di masyarakat. Oleh karena itu, mereka menekankan pentingnya kebijakan bantuan sosial yang mengedepankan prinsip partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Nanda menyatakan bahwa DPRD Kalimantan Timur siap mendorong lahirnya regulasi yang lebih tegas terkait mekanisme pembinaan penerima bansos, sekaligus memperkuat pengawasan terhadap pelaksanaan program oleh dinas-dinas terkait. Ia juga menilai perlunya kolaborasi antarpihak, baik di tingkat legislatif, eksekutif, akademisi, maupun masyarakat sipil, untuk menyusun peta jalan program bantuan sosial yang inklusif dan berorientasi pada hasil jangka panjang.
“Ke depan, saya ingin melihat sistem bansos kita bisa menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar instrumen belas kasihan. Kita ingin masyarakat tumbuh menjadi pelaku ekonomi yang tangguh, bukan penerima bantuan terus-menerus. Untuk itu, kita semua punya tanggung jawab menyusun program yang lebih baik dan lebih tepat sasaran,” pungkasnya.
Dengan dorongan kuat dari legislatif dan dukungan intelektual dari kalangan akademisi, diharapkan arah kebijakan bantuan sosial di Kalimantan Timur dapat segera bertransformasi menjadi sistem yang lebih efektif, efisien, dan berdampak nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. (adv)