Di tengah pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastruktur perkotaan, Kota Samarinda menghadapi sebuah persoalan yang kerap terabaikan, namun sangat fundamental bagi warganya—yaitu keterbatasan lahan pemakaman. Masalah ini kini menjadi keresahan tersendiri bagi masyarakat yang mulai sulit merencanakan tempat peristirahatan terakhir bagi anggota keluarganya secara layak.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Andi Satya Adi Saputra, mengangkat isu tersebut sebagai salah satu permasalahan yang mendesak untuk segera dicarikan solusi nyata. Ia menegaskan bahwa ketersediaan lahan pemakaman adalah bagian dari kebutuhan dasar masyarakat yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
“Selama ini kita terlalu fokus pada urusan rumah di dunia, padahal rumah untuk akhirat juga sama pentingnya. Ketika masyarakat sudah mulai bingung ke mana harus memakamkan anggota keluarganya, ini berarti kita sedang menghadapi krisis yang nyata,” ujar Andi Satya dalam pernyataan serius yang mencerminkan kepedulian mendalam terhadap kebutuhan sosial masyarakat.
Menurutnya, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa beberapa Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Samarinda sudah dalam keadaan sangat padat. Bahkan, tidak sedikit liang kubur yang harus menampung lebih dari satu jenazah, dengan kasus yang ekstrem mencapai enam hingga tujuh jenazah dalam satu liang.
Ia menyebut situasi tersebut sebagai alarm peringatan bagi pemerintah kota maupun provinsi untuk bertindak cepat dalam merumuskan solusi jangka panjang, agar persoalan lahan pemakaman tidak semakin pelik di masa depan.
“Kita tidak bisa menunggu sampai semuanya benar-benar penuh. Pemerintah harus mulai mencari lahan baru dan mengalokasikan anggaran khusus untuk membuka dan mengelola tempat pemakaman yang layak bagi seluruh masyarakat,” tegas Andi Satya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa saat ini sebagian warga terpaksa beralih ke pemakaman swasta yang menawarkan lahan lebih rapi dan terawat. Namun, biaya tinggi serta lokasi yang jauh membuat opsi ini tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah. Kondisi tersebut menimbulkan kesenjangan akses terhadap tempat pemakaman yang layak dan menambah beban psikologis bagi keluarga yang ditinggalkan.
“Bukan hanya soal biaya, tetapi juga jarak dan akses. Pemakaman swasta bisa jadi solusi bagi sebagian orang, tapi tidak semua masyarakat memiliki kemampuan ekonomi untuk itu. Inilah yang harus kita pikirkan bersama agar tidak ada diskriminasi bahkan di akhir hayat seseorang,” paparnya.
Sebagai upaya konkret, Andi Satya mengusulkan agar pemerintah mulai menjalin komunikasi dengan masyarakat maupun pihak swasta yang bersedia menghibahkan lahan untuk keperluan sosial, dalam hal ini lahan pemakaman. Pemerintah, menurutnya, harus hadir sebagai fasilitator yang mampu mengelola lahan tersebut secara adil dan transparan untuk kepentingan masyarakat luas.
“Saya berharap ada kolaborasi antara warga yang memiliki lahan dan pemerintah. Jika ada yang bersedia menghibahkan lahan, maka pemerintah bisa memanfaatkannya dengan baik sebagai TPU baru yang dikelola secara profesional dan terbuka untuk seluruh warga tanpa pungutan tinggi,” lanjutnya.
Ia juga menyarankan agar pemerintah daerah membuat peta jalan atau roadmap pengembangan lahan pemakaman untuk jangka panjang, seiring dengan dinamika pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Dalam peta tersebut, perlu ada perencanaan menyeluruh terkait zonasi pemakaman, tata kelola, sistem pemeliharaan, serta anggaran yang dialokasikan secara rutin.
Selain itu, pendekatan digital dan teknologi informasi juga perlu dimanfaatkan, seperti pencatatan digital makam, sistem manajemen lokasi, dan pemetaan interaktif yang dapat membantu keluarga dalam merawat makam keluarganya secara lebih teratur dan sistematis.
Andi Satya juga menekankan pentingnya pendidikan publik tentang pengelolaan pemakaman dan perencanaan akhir hayat secara bijak. Menurutnya, membicarakan kematian masih dianggap tabu di masyarakat, padahal persiapan pemakaman adalah bagian dari sikap hidup yang bertanggung jawab dan beradab.
“Sudah saatnya kita memandang pemakaman bukan sebagai sesuatu yang tabu, tetapi sebagai bagian dari kehidupan yang harus direncanakan secara matang. Pemerintah dan masyarakat harus mulai terbuka dan berdiskusi untuk mencari solusi bersama,” tambahnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menyerukan agar pemerintah daerah mengambil langkah progresif untuk menghindari terjadinya krisis sosial yang lebih besar akibat keterbatasan lahan pemakaman. Menurutnya, kenyamanan warga dalam merencanakan tempat peristirahatan terakhir adalah bagian dari hak dasar sebagai warga negara yang harus dijamin oleh negara.
“Ini soal kemanusiaan, soal hak dasar warga untuk mendapatkan tempat peristirahatan terakhir yang layak. Jika pemerintah tidak segera bertindak, maka kita akan berhadapan dengan krisis yang lebih rumit di kemudian hari,” pungkasnya.
Dengan dorongan dari legislator seperti Andi Satya Adi Saputra dan kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan, diharapkan Samarinda dapat segera memiliki solusi nyata terhadap keterbatasan lahan pemakaman. Sebab, sebagaimana kehidupan yang layak, setiap warga juga berhak atas kematian yang bermartabat. (adv)