Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur, Darlis Pattalongi, menyampaikan pandangan kritisnya terhadap kebijakan pembatasan usia dalam program beasiswa pendidikan gratis untuk jenjang pascasarjana yang diluncurkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Program beasiswa tersebut merupakan bagian dari inisiatif strategis Gubernur Rudy Mas’ud dan Wakil Gubernur Seno Aji yang dikemas dalam program unggulan bertajuk Gerakan Pendidikan Gratis dan Berkualitas atau yang dikenal luas dengan sebutan Gatispol.
Dalam pernyataannya, Darlis mengapresiasi komitmen pemerintah provinsi dalam menyediakan akses pendidikan yang lebih luas bagi masyarakat, terutama di jenjang strata dua (S2) dan strata tiga (S3). Namun demikian, ia menilai bahwa sejumlah ketentuan teknis dalam regulasi pelaksana program, khususnya terkait batasan usia penerima beasiswa, perlu ditinjau ulang agar tidak justru menjadi penghalang bagi kelompok masyarakat yang masih memiliki semangat untuk melanjutkan pendidikan tinggi namun terganjal aturan administratif.
“Pemerintah provinsi tentu memiliki dasar dalam merumuskan kebijakan, termasuk soal batasan usia. Namun, dalam pelaksanaannya, kita harus mempertimbangkan bahwa banyak warga yang memiliki motivasi tinggi untuk studi lanjut meski usianya tidak lagi muda. Mereka tetap layak diberi kesempatan, apalagi jika kontribusinya bagi pembangunan daerah nyata,” jelas Darlis.
Ia menambahkan bahwa pada tahap awal pelaksanaan, pemerintah daerah memang dihadapkan pada tantangan dalam hal penyusunan skema anggaran dan penyelarasan program prioritas, sehingga sejumlah pembatasan administratif bisa dimaklumi. Namun, ke depan, ia mendorong agar ada evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas serta dampak sosial dari aturan tersebut.
“Karena ini masih tahun pertama pelaksanaan program, kita memahami bahwa pemerintah butuh kehati-hatian dalam mengelola anggaran. Tapi seiring waktu, ketika sistem dan data sudah terbentuk, seharusnya ada ruang untuk melakukan koreksi dan penyesuaian, terutama demi menjangkau lebih banyak kalangan,” ungkapnya.
Menurut Darlis, regulasi yang terlalu kaku dapat mengabaikan kenyataan sosial bahwa banyak masyarakat yang menunda pendidikan lanjutan karena alasan ekonomi, pekerjaan, atau tanggung jawab keluarga. Ketika mereka akhirnya memiliki kesempatan dan sumber daya untuk melanjutkan studi, justru terhalang oleh aturan batas usia yang tidak akomodatif.
Lebih jauh, politisi tersebut juga menyinggung posisi politik dan kebijakan Gubernur Rudy Mas’ud yang saat ini berada dalam titik persimpangan antara menjalankan visi pemerintahan baru dan meneruskan program-program warisan dari pemerintahan sebelumnya. Ia menyebut, beban moral untuk menjaga kesinambungan program yang telah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam konteks keterbatasan anggaran yang dihadapi.
“Kita memahami bahwa pemerintah saat ini sedang menyeimbangkan antara komitmen kampanye dengan realitas anggaran. Maka, DPRD berharap agar prioritas di sektor pendidikan tetap menjadi yang utama. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang dampaknya besar bagi kemajuan daerah,” tegasnya.
Ia menilai bahwa dengan alokasi anggaran yang memadai, perluasan penerima manfaat beasiswa akan semakin mungkin dilakukan, termasuk dengan melonggarkan kriteria usia tanpa mengurangi aspek selektivitas dan kualitas. Dalam konteks itu, Darlis mendorong agar pemerintah provinsi mulai menyusun strategi jangka menengah untuk memperluas jangkauan program pendidikan unggulan seperti Gatispol ini agar benar-benar inklusif dan merata.
“Ke depan, kami di DPRD berharap Gubernur dan jajaran dapat lebih mengarahkan program-program pendidikan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat. Perlu ada keberanian untuk mengevaluasi aturan-aturan yang membatasi, dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih humanis dan progresif,” tuturnya.
Darlis menutup pernyataannya dengan harapan besar bahwa tahun-tahun berikutnya akan menjadi momentum untuk memperkuat sistem pendidikan tinggi di Kalimantan Timur, sekaligus membuka peluang lebih luas bagi seluruh warga untuk mengembangkan kapasitas akademiknya, tanpa terkendala usia atau hambatan administratif lainnya. Menurutnya, keberhasilan suatu program bukan hanya diukur dari jumlah penerima manfaat, tetapi juga dari sejauh mana program itu mampu menjangkau lapisan masyarakat yang selama ini termarginalkan dari akses pendidikan tinggi. (adv)