SAMARINDA — Rencana pemerintah pusat yang membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk mengelola wilayah pertambangan, sebagaimana diatur dalam revisi terbaru Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba), menuai polemik di berbagai daerah, termasuk di Kalimantan Timur. Kebijakan ini tidak hanya mengundang respons dari kalangan akademisi, tetapi juga memicu aksi protes mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahakam Menggugat.
Aksi unjuk rasa yang digelar di depan Gedung DPRD Kalimantan Timur menjadi bentuk nyata penolakan terhadap kebijakan tersebut. Para mahasiswa menyuarakan keprihatinan mereka terhadap potensi dampak lingkungan yang akan timbul, jika sektor pendidikan turut serta dalam aktivitas pertambangan, terutama di wilayah yang selama ini telah mengalami tekanan ekologis akibat eksploitasi sumber daya alam.
Menanggapi aksi tersebut, Ketua DPRD Kalimantan Timur, Hasanuddin Mas’ud, memberikan pernyataan yang mencerminkan keberpihakan pada isu-isu lingkungan. Ia menyampaikan bahwa secara kelembagaan DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah memiliki kewajiban untuk tunduk pada kebijakan yang ditetapkan pemerintah pusat. Namun, secara pribadi, ia mengakui memiliki pandangan yang berbeda.
“Secara pribadi, saya tidak sepenuhnya sepakat dengan kebijakan ini. Kita melihat bahwa industri tambang yang sudah dijalankan oleh perusahaan-perusahaan besar saja masih menyisakan banyak persoalan, seperti lubang-lubang bekas tambang yang belum direklamasi dan dampak kerusakan lingkungan yang belum tertangani dengan baik,” ujar Hasanuddin.
Ia menjelaskan bahwa meskipun kebijakan tersebut telah sah menjadi regulasi nasional, bukan berarti tidak boleh dikritisi. Hasanuddin menegaskan bahwa pihaknya memahami dan menghargai aspirasi mahasiswa yang menuntut perlindungan terhadap lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam di Kalimantan Timur.
Dalam pernyataannya, Hasanuddin juga menyoroti fakta bahwa setiap wilayah memiliki karakteristik geografis, sosial, dan budaya yang unik. Oleh sebab itu, menurutnya, tidak semua kebijakan nasional bisa diterapkan secara seragam di seluruh daerah tanpa adanya penyesuaian dengan kondisi lokal.
“Kita tidak bisa menyamakan seluruh daerah. Kalimantan Timur memiliki bentang alam yang sangat rentan terhadap kerusakan apabila dikelola tanpa pendekatan yang tepat. Kita harus berhati-hati dan memastikan bahwa regulasi tidak menimbulkan efek domino yang merugikan masyarakat dan ekosistem,” tambahnya.
Meskipun sebagai wakil rakyat di daerah tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, Hasanuddin berkomitmen untuk menyalurkan suara dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Ia menegaskan bahwa DPRD Kalimantan Timur akan berperan sebagai jembatan antara warga dengan pemerintah pusat, terutama dalam isu-isu strategis yang menyangkut keselamatan lingkungan hidup dan masa depan daerah.
“Kami akan menyampaikan aspirasi mahasiswa ini ke tingkat pusat. Mereka telah menyampaikan keprihatinan yang sangat relevan. Saya kira ini bukan soal menolak kemajuan, tapi bagaimana kemajuan itu tidak mengorbankan masa depan lingkungan kita,” pungkas Hasanuddin.
Pernyataan tegas dari Ketua DPRD ini menjadi sinyal bahwa masih ada ruang dialog dan advokasi dalam kebijakan publik, terlebih ketika menyangkut kepentingan jangka panjang masyarakat dan kelestarian lingkungan Kalimantan Timur. Dukungan dari para pemangku kepentingan di daerah menjadi kunci untuk memastikan bahwa pembangunan dilakukan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. (adv)