Di tengah gegap gempita pembangunan yang terus menggeliat di Kalimantan Timur—terutama dalam menyambut hadirnya Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara—masih tersembunyi sebuah ironi yang mengganggu kenyamanan masyarakat: kondisi jalan nasional yang jauh dari kata layak. Retakan, lubang, hingga genangan lumpur saat musim hujan menjadi gambaran umum dari sejumlah ruas jalan yang semestinya menjadi urat nadi penghubung antardaerah.
Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur, Abdulloh, menyampaikan keprihatinan mendalam atas persoalan infrastruktur tersebut. Dalam penuturannya yang tenang namun penuh makna, ia menggambarkan kondisi jalan nasional sebagai persoalan lama yang tak kunjung mendapat perhatian sepadan dari pemerintah pusat.
“Jalan nasional adalah milik negara, dan menjadi tanggung jawab langsung pemerintah pusat melalui kementerian terkait. Tetapi di lapangan, tidak semua ruas jalan mendapatkan perhatian atau penanganan yang layak,” ucapnya tegas. Ia menilai bahwa kerusakan jalan, meski kerap dianggap hal sepele, sesungguhnya menyimpan dampak besar terhadap kehidupan masyarakat, terutama dari sisi ekonomi, mobilitas, dan keselamatan pengguna jalan.
Abdulloh menjelaskan bahwa Kalimantan Timur memiliki luas wilayah yang sangat besar, dengan kontur geografis yang beragam dan kerap menyulitkan proses transportasi. Dalam kondisi demikian, keberadaan jalan nasional yang berkualitas baik menjadi sangat krusial. Namun, kenyataan justru menunjukkan bahwa banyak ruas jalan nasional, baik yang melintasi kawasan perkotaan maupun pedesaan dan daerah perbatasan, berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Ia mencontohkan kondisi di sejumlah wilayah seperti Kutai Barat, di mana kerusakan jalan sudah sangat mengganggu kelancaran distribusi logistik dan aktivitas harian masyarakat. Sayangnya, karena status jalan tersebut adalah jalan nasional, maka kewenangan penanganannya berada di tangan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Seringkali, kita sebagai pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak. Dana provinsi tidak bisa langsung digunakan untuk memperbaiki jalan nasional. Sementara masyarakat tidak mau tahu soal status jalan—mereka hanya butuh jalan yang bagus untuk aktivitas mereka,” papar Abdulloh dengan nada prihatin.
Ia pun menyampaikan bahwa kendala bukan hanya soal anggaran, tetapi juga soal keterbatasan personel dan peralatan di BBPJN, sehingga penanganan terhadap kerusakan jalan kerap lambat dan tidak menyentuh seluruh wilayah terdampak. Dalam beberapa pertemuan sebelumnya, memang sempat muncul wacana mengubah status beberapa ruas jalan nasional menjadi jalan provinsi atau kota, agar bisa dikelola langsung oleh pemerintah daerah. Namun, menurut Abdulloh, proses administratif yang sangat panjang membuat langkah ini bukan solusi jangka pendek yang efektif.
“Kalau kita andalkan perubahan status, bisa makan waktu lima hingga tujuh tahun. Sementara masyarakat membutuhkan jalan yang layak sekarang juga, bukan nanti,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa DPRD Kalimantan Timur, khususnya Komisi III, lebih memilih pendekatan pragmatis: mendesak pemerintah pusat melalui jalur politik dan administratif agar segera memperbaiki ruas-ruas jalan yang sudah lama rusak.
Abdulloh juga menekankan bahwa jalan bukan sekadar infrastruktur fisik. Di balik aspal dan beton, tersimpan makna besar tentang konektivitas sosial, akses pendidikan, distribusi kesehatan, dan pembangunan ekonomi. Jalan yang rusak bisa berarti terhambatnya perjalanan anak ke sekolah, lamanya pasien tiba di rumah sakit, atau tingginya biaya logistik akibat kendaraan yang rusak di tengah perjalanan.
“Perhatian terhadap jalan nasional yang rusak adalah cerminan sejauh mana negara hadir dalam kehidupan masyarakatnya. Kita ingin negara hadir secara nyata, bukan hanya dalam kebijakan tertulis,” imbuhnya.
Ia menyatakan bahwa perjuangan Komisi III tidak akan berhenti sampai ada respons konkret dari pemerintah pusat. Sebagai wakil rakyat, ia merasa berkewajiban menyuarakan kegelisahan masyarakat yang setiap hari berhadapan langsung dengan jalan rusak dan akses yang terhambat. Menurutnya, kualitas jalan adalah ukuran sederhana dari kualitas pelayanan publik yang diberikan negara.
“Masyarakat tidak minta muluk-muluk. Mereka hanya ingin bisa bepergian dengan aman, nyaman, dan cepat. Itu saja. Maka sudah menjadi tanggung jawab kita semua untuk memastikan hal itu bisa terwujud,” ucap Abdulloh.
Ia berharap, suara kritis dari parlemen daerah dapat menjadi sinyal kuat bagi pemerintah pusat agar lebih sigap dan responsif dalam merawat infrastruktur jalan nasional yang ada. Kalimantan Timur, dengan segala potensinya, layak mendapatkan perlakuan yang adil dan proporsional dalam pembangunan infrastruktur. Menurutnya, konektivitas sejati bukan hanya soal membangun jalan baru, tetapi juga tentang merawat yang sudah ada agar tetap berfungsi maksimal bagi rakyat.
Dengan penuh keyakinan, Abdulloh menutup pernyataannya bahwa komitmen pada pembangunan infrastruktur adalah komitmen terhadap kesejahteraan. Dan selama masih ada masyarakat yang mengeluh karena jalan rusak, maka perjuangan tidak akan berhenti. (adv)