Desa Miau Baru di Kecamatan Kongbeng, Kabupaten Kutai Timur, menjadi titik sorotan penting dalam agenda pengawasan Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur. Dalam kunjungan kerja lapangan yang dilakukan belum lama ini, para wakil rakyat melakukan pemantauan langsung terhadap progres pembangunan pabrik kelapa sawit milik PT Kutai Sawit Mandiri (KSM), dan menemukan indikasi sejumlah pelanggaran serius yang menimbulkan kekhawatiran besar, khususnya dalam aspek perizinan dan dampak lingkungan.
Kunjungan tersebut dipimpin oleh Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, H. Baba, yang hadir bersama beberapa anggota komisi lainnya. Tim ini juga didampingi oleh sejumlah pejabat dari instansi lingkungan hidup di tingkat daerah. Pemantauan ini bukan sekadar bentuk rutinitas kerja legislatif, tetapi merupakan manifestasi dari tanggung jawab DPRD dalam memastikan bahwa seluruh kegiatan industri di wilayah Kalimantan Timur dilaksanakan sesuai aturan dan berlandaskan prinsip kelestarian lingkungan.
Dalam tinjauan di lapangan, H. Baba menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kondisi pembangunan pabrik PT KSM. Ia menegaskan bahwa kegiatan konstruksi pabrik tersebut terindikasi kuat dilakukan tanpa izin lingkungan yang sah dari otoritas berwenang, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Temuan ini mengarah pada pelanggaran administratif yang serius, terlebih pembangunan telah berlangsung dalam skala yang tidak kecil.
“Dari hasil pengamatan kami, terlihat jelas bahwa aktivitas konstruksi sudah berjalan jauh, padahal belum ada izin lingkungan yang dikantongi perusahaan. Ini merupakan pelanggaran yang tidak bisa dianggap sepele karena menyangkut hajat hidup masyarakat dan keberlanjutan lingkungan,” ujar H. Baba.
Selain persoalan izin, Komisi IV juga mencatat adanya potensi konflik wilayah antara lokasi pembangunan pabrik PT KSM dan area konsesi milik perusahaan tambang besar, seperti PT Kaltim Prima Coal (KPC), yang berada tidak jauh dari lokasi tersebut. Tumpang tindih lahan menjadi isu yang semakin memperkeruh situasi, dan membutuhkan klarifikasi serta koordinasi lintas sektor untuk menghindari sengketa yang bisa merugikan banyak pihak.
Isu lingkungan juga menjadi sorotan utama dalam kunjungan tersebut. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah dugaan rencana pembuangan limbah pabrik ke sungai di sekitar lokasi, yang diketahui sebagai sumber utama bahan baku air bersih untuk PDAM Hulu Sangatta. Jika hal ini terbukti, dampaknya bisa sangat merusak dan mengancam kesehatan ribuan warga.
“Kami mendapat informasi kuat bahwa sungai yang menjadi jalur potensi pembuangan limbah ini merupakan sumber air bersih utama untuk kebutuhan masyarakat. Jika benar limbah pabrik dibuang ke sana, maka ini bukan hanya soal pelanggaran regulasi, tetapi juga pelanggaran terhadap hak dasar masyarakat atas air bersih dan lingkungan sehat,” tegas H. Baba.
Lebih jauh, kekecewaan Komisi IV DPRD Kaltim semakin bertambah saat mengetahui bahwa tidak ada perwakilan manajemen atau direksi PT KSM yang hadir saat kunjungan dilakukan. Ketidakhadiran ini dinilai sebagai bentuk ketidakseriusan dan ketidakkooperatifan perusahaan dalam menghadapi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga resmi negara.
“Tidak adanya pihak manajemen di lokasi menambah tanda tanya besar. Ini seolah menunjukkan bahwa mereka tidak peduli terhadap prosedur dan pengawasan publik. Jika mereka juga tidak hadir dalam agenda rapat dengar pendapat nanti, kami tidak akan ragu untuk mempertimbangkan langkah lanjutan, termasuk tidak memberikan dukungan terhadap proses perizinan mereka,” tegas Baba.
Senada dengan itu, Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Muhammad Darlis, menambahkan bahwa kehadiran Komisi di lokasi bukan hanya untuk menilai aspek teknis pembangunan pabrik, tetapi lebih pada pengujian terhadap sejauh mana kepatuhan perusahaan terhadap regulasi lingkungan hidup. Ia menyebut bahwa PT KSM dinilai sangat minim dalam pemenuhan dokumen-dokumen legal yang menjadi prasyarat utama untuk mendirikan sebuah pabrik pengolahan kelapa sawit.
“AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) saja mereka belum punya. Padahal, dokumen itu merupakan dasar mutlak sebelum pembangunan industri bisa dilakukan. Tanpa AMDAL, pembangunan ini tidak punya pijakan hukum yang sah,” tegas Darlis.
Ia juga mengkritisi lokasi pembangunan pabrik yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kutai Timur. Menurutnya, kawasan tersebut lebih cocok untuk fungsi pertanian, bukan sebagai zona industri. Proses pembukaan lahan yang dilakukan perusahaan pun dinilai tanpa perencanaan matang, sehingga berisiko menyebabkan kerusakan lingkungan seperti erosi, sedimentasi, dan potensi longsor di masa depan.
Atas semua temuan ini, Komisi IV DPRD Kaltim berkomitmen untuk tidak tinggal diam. Mereka akan melanjutkan proses pengawasan melalui pemanggilan manajemen PT KSM dalam agenda resmi legislatif, serta berkoordinasi secara intensif dengan Dinas Lingkungan Hidup baik di level kabupaten maupun provinsi. Langkah-langkah lanjutan, termasuk kemungkinan penerapan sanksi administratif hingga penghentian sementara proyek, juga sedang dalam kajian.
“Ini bukan sekadar soal pembangunan pabrik, ini soal masa depan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Kita tidak bisa membiarkan aktivitas yang berpotensi mencemari sungai dan merusak ekosistem terus berjalan tanpa kejelasan izin. Komisi IV akan terus mengawal persoalan ini hingga tuntas, dan memastikan bahwa setiap perusahaan yang beroperasi di Kalimantan Timur tunduk pada aturan,” tutup H. Baba.
Kunjungan ini menegaskan peran DPRD sebagai pengawas kebijakan dan pelindung kepentingan publik. Dalam konteks pembangunan yang pesat di Kalimantan Timur, terutama di sektor industri dan perkebunan, pengawasan terhadap dampak lingkungan dan legalitas menjadi hal mutlak yang tidak boleh diabaikan. Komisi IV menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat. (adv)