BerandaDPRD KaltimKHDTK Unmul Terancam Tambang...

KHDTK Unmul Terancam Tambang Ilegal: DPRD Kaltim Desak Reformasi Pengawasan Pertambangan

Terbaru

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Universitas Mulawarman kembali menjadi pusat perhatian setelah terbongkarnya aktivitas tambang ilegal yang merambah wilayah tersebut. Hutan yang seharusnya difungsikan sebagai laboratorium alam, pusat konservasi, dan ruang belajar terbuka bagi dunia pendidikan, kini justru menjadi sasaran eksploitasi tak bertanggung jawab. Fenomena ini menandai babak baru dalam krisis pengelolaan sumber daya alam di Kalimantan Timur, yang selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi dengan kekayaan alam melimpah namun rentan terhadap kerusakan lingkungan.

Aktivitas tambang ilegal yang menyasar KHDTK Unmul bukan hanya persoalan perusakan lingkungan. Lebih dari itu, ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengawasan pertambangan, terutama ketika regulasi tidak diimbangi dengan pelaksanaan yang kuat di lapangan. Situasi ini mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk legislator daerah yang melihat adanya ketimpangan antara kebijakan pusat dan kebutuhan daerah dalam menjaga keberlanjutan lingkungan.

Salah satu suara yang paling lantang datang dari Sarkowi V Zuhry, anggota DPRD Kalimantan Timur, yang mengkritisi lemahnya sistem pengawasan tambang, khususnya setelah diterapkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara. UU ini mengalihkan seluruh kewenangan pengawasan tambang kepada pemerintah pusat melalui inspektur tambang, dan mencabut kewenangan daerah dalam aspek pengawasan yang sebelumnya masih bisa dilakukan oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

“Secara aturan, kita memang telah menyerahkan kewenangan itu ke pusat. Tapi yang menjadi persoalan adalah apakah pusat memiliki cukup kapasitas untuk melakukan pengawasan di seluruh wilayah Indonesia, apalagi di Kalimantan Timur yang sangat luas dan kompleks?” ujar Sarkowi dengan nada prihatin.

Ia menyoroti kenyataan di lapangan, di mana jumlah inspektur tambang masih sangat terbatas dan tidak sebanding dengan luasan wilayah tambang yang harus diawasi. Terlebih, Kalimantan Timur memiliki lebih dari 129 ribu kilometer persegi luas wilayah, dengan ratusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar, belum termasuk aktivitas tambang ilegal yang kerap muncul secara sembunyi-sembunyi, bahkan di kawasan yang secara hukum seharusnya dilindungi.

“Jumlah personel pengawas yang sedikit, belum lagi dukungan fasilitas dan anggaran yang terbatas, menjadikan pengawasan hanya sebatas administratif. Padahal ancaman kerusakan lingkungan terus berlangsung setiap hari,” lanjutnya.

Sarkowi mengakui bahwa meski secara formal kewenangan pengawasan berada di tangan pusat, hal itu tidak boleh menjadi alasan bagi pemerintah daerah dan DPRD untuk berdiam diri. Ia menyerukan pentingnya peran aktif pemerintah daerah dalam melakukan pemantauan langsung, investigasi awal, dan pelaporan cepat terhadap segala bentuk pelanggaran tambang yang terjadi di wilayah masing-masing.

“Jangan sampai kita hanya jadi penonton dari kerusakan di depan mata. Pemerintah daerah dan DPRD punya tanggung jawab moral dan politik untuk tetap bersuara dan bertindak. Koordinasi dengan kementerian tetap harus dijaga,” tegasnya.

Bagi Sarkowi, pengawasan tidak bisa hanya dibatasi oleh kerangka hukum yang kaku. Yang lebih dibutuhkan adalah semangat kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjaga lingkungan dan hak masyarakat atas ruang hidup yang sehat dan berkelanjutan.

Ia mengusulkan pembentukan mekanisme sinergi yang lebih konkret antara inspektur tambang, aparat pemerintah daerah, DPRD, serta elemen masyarakat sipil. Menurutnya, hanya dengan duduk bersama dan menyusun peta risiko bersama, maka pengawasan bisa berjalan efektif. Hal ini juga akan menutup celah yang selama ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan eksploitasi tanpa izin atau dengan memanipulasi dokumen.

“Pengawasan tidak boleh berhenti di meja kantor. Harus turun langsung ke lapangan, didukung teknologi pemantauan yang memadai, serta keterlibatan warga sebagai mata dan telinga yang siap melaporkan setiap kecurigaan aktivitas ilegal,” imbuhnya.

Ia menekankan pentingnya transparansi data pertambangan, termasuk siapa pemilik izin, berapa luas wilayah yang dikuasai, dan bagaimana status legalitasnya. Dengan begitu, masyarakat dan media bisa ikut serta dalam pengawasan, bukan sekadar menjadi korban akibat aktivitas tambang yang tak terkontrol.

Kasus KHDTK Unmul sendiri menjadi simbol dari krisis multidimensi yang melanda sektor pertambangan di Indonesia. Bukan hanya kerusakan hutan, tetapi juga degradasi nilai-nilai pendidikan, riset, dan konservasi. Sarkowi menyebut bahwa ketika kawasan yang diperuntukkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pelestarian lingkungan pun tak mampu dilindungi, maka harapan akan pelestarian wilayah hutan lainnya menjadi sangat tipis.

“Kita bukan hanya sedang kehilangan pohon dan tanah, tapi juga mencederai masa depan pendidikan dan penelitian yang seharusnya jadi fondasi pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa publik kini menanti keberanian pemerintah pusat untuk melakukan reformasi serius dalam sistem pengawasan pertambangan. Bukan hanya melalui penambahan personel dan anggaran, tetapi juga lewat perubahan paradigma, di mana perlindungan lingkungan hidup harus ditempatkan sebagai prioritas utama dalam tata kelola sumber daya alam.

Dengan desakan kuat dari parlemen daerah seperti yang disampaikan oleh Sarkowi, publik berharap ada langkah konkret yang segera diambil. Mulai dari pembenahan regulasi teknis, penguatan kolaborasi pusat-daerah, hingga tindakan tegas terhadap pelaku tambang ilegal.

“Kita tidak bisa terus bersembunyi di balik pasal-pasal. Ini waktunya kita hadir secara nyata untuk menyelamatkan hutan, pendidikan, dan masa depan generasi yang akan datang,” tutupnya penuh tekad.

Kasus KHDTK Unmul hanyalah satu dari sekian banyak peristiwa yang menggambarkan kondisi rapuhnya sistem pengawasan pertambangan di Indonesia. Namun jika dikelola dengan benar, kasus ini bisa menjadi momentum penting untuk membangun sistem yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia. (adv)

Trending Minggu Ini

Kamu mungkin juga suka