Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur kembali mempertegas komitmennya dalam mendorong optimalisasi pelaksanaan program pembangunan di tahun anggaran 2025. Dalam rangka menjaga akuntabilitas dan efektivitas realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), digelar sebuah rapat koordinasi penting yang secara khusus membahas identifikasi terhadap kegiatan-kegiatan yang diperkirakan tidak dapat dilaksanakan atau diselesaikan sesuai rencana yang telah ditetapkan.
Pertemuan strategis ini dipimpin langsung oleh Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Sri Wahyuni, dan turut dihadiri oleh jajaran pejabat tinggi di lingkungan Pemprov Kaltim. Di antara peserta rapat hadir Asisten Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Setda Kaltim, Ujang Rachmad, Kepala Biro Administrasi Pembangunan Setda Kaltim, Irhamsyah, serta Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim, Yusliando. Tidak ketinggalan, Sekretaris DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Norhayati Usman, juga hadir untuk menyampaikan dukungannya terhadap langkah evaluatif tersebut.
Bertempat di Ruang Ruhui Rahayu, Kantor Gubernur Kalimantan Timur, kegiatan ini diikuti secara penuh oleh seluruh Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lingkup provinsi. Rapat tersebut menjadi ajang konsolidasi untuk mengevaluasi sejauh mana kesiapan masing-masing OPD dalam merealisasikan target program kerja di tengah dinamika anggaran dan tantangan administratif.
Dalam arahannya, Sri Wahyuni menyampaikan keprihatinan atas rendahnya capaian realisasi target pembangunan daerah yang hingga kini baru menyentuh kisaran sembilan persen. Angka ini dinilai jauh tertinggal dibandingkan capaian pada periode yang sama di tahun sebelumnya, sehingga diperlukan langkah-langkah korektif yang cepat dan tepat sasaran.
Menurutnya, penyebab utama keterlambatan pelaksanaan kegiatan berasal dari dua faktor mendasar, yakni penerapan kebijakan efisiensi anggaran dan terjadinya pergeseran alokasi anggaran pada sejumlah kegiatan. Ia menegaskan bahwa proses pergeseran sudah tuntas dilakukan, termasuk identifikasi kegiatan yang terkena dampak efisiensi.
“Pergantian dan pergeseran anggaran telah selesai. Sudah ada kejelasan kegiatan mana yang terkena efisiensi dan mana yang tetap dapat dilanjutkan. Jadi seharusnya tidak ada alasan lagi untuk menunda pelaksanaan kegiatan yang tidak terdampak,” tegas Sri Wahyuni dalam arahannya.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa Pemprov telah memasuki tahap lanjutan dalam proses pengelolaan anggaran, khususnya menyangkut pergeseran kedua yang berkaitan dengan pengalokasian anggaran untuk belanja pegawai dan konsumsi kegiatan. Oleh karena itu, ia meminta seluruh OPD untuk segera menyesuaikan dan mempercepat pelaksanaan kegiatan agar tidak terjadi penumpukan di akhir tahun anggaran.
Dalam diskusi yang berlangsung, terungkap sejumlah hambatan teknis yang dihadapi OPD dalam pelaksanaan kegiatan. Beberapa kendala utama antara lain adalah perubahan sistem E-Katalog dari versi 5 ke versi 6 yang memerlukan proses adaptasi, implementasi regulasi baru terkait penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik, serta himbauan efisiensi yang mendorong agar sebagian besar kegiatan dilaksanakan di dalam kantor guna menekan biaya operasional.
Selain itu, perubahan pada sistem anggaran kas di masing-masing SKPD juga menjadi tantangan tersendiri yang berdampak terhadap kelancaran proses lelang dan eksekusi kegiatan.
Sri Wahyuni juga menyoroti aspek administratif lainnya, yaitu belum ditandatanganinya perjanjian kinerja oleh Gubernur. Ia menjelaskan bahwa penundaan ini merupakan bagian dari kebijakan yang bertujuan menghadirkan sistem reward and punishment dalam mekanisme kerja OPD. Dengan begitu, setiap kinerja akan dapat diukur secara objektif dan memiliki konsekuensi logis sesuai hasil yang dicapai.
“Perjanjian kinerja ini penting sebagai bentuk komitmen bersama. Jika tidak ditandatangani, tidak akan ada dasar penilaian terhadap pelaksanaan program. Karena itu, kami ingin memastikan sistem pengawasan dan evaluasi berjalan optimal melalui pendekatan insentif dan sanksi yang adil,” jelasnya.
Di sisi lain, perhatian serius juga diarahkan pada hasil pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kalimantan Timur. Lembaga ini menyoroti permasalahan proporsi belanja OPD, terutama ketidakseimbangan antara belanja publik dan belanja penunjang. Sri Wahyuni mengingatkan bahwa sesuai ketentuan yang berlaku, belanja penunjang tidak boleh melebihi belanja publik, karena hal tersebut akan mencerminkan rendahnya fokus terhadap pembangunan yang menyentuh langsung masyarakat.
“Tolong dicek kembali bagaimana proporsi belanja di masing-masing OPD. Jangan sampai belanja publik malah kalah besar dari belanja penunjang. Kegiatan yang tidak esensial dan bersifat aksesoris justru bisa menjadi beban dalam proses evaluasi, dan pada akhirnya merugikan kredibilitas lembaga,” pungkasnya.
Rapat ini menjadi momentum penting untuk menyamakan langkah dan menyusun strategi bersama agar pelaksanaan pembangunan di Kalimantan Timur berjalan secara terukur, efisien, dan akuntabel. Kolaborasi lintas OPD diharapkan mampu mengurai berbagai kendala teknis dan administratif yang menghambat realisasi program, serta memperkuat koordinasi dalam mencapai target pembangunan yang telah dicanangkan di tahun anggaran 2025. (adv)